Rabu, 02 Desember 2009

Shalat Dhuha Tiap Hari?

Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Abdulloh bin Syaqiq pernah bertanya kepada Aisyah RA : "Apakah Rasulullah SAW melaksanakan sholat dhuha ?" ia menjawab : "tidak, kecuali jika beliau pulang dari berpergian" (HR Bukhori, Muslim, Malik, Abu Daud, An-Nasa'i)

Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memang tidak pernah mendawamkan pelaksanaan sholat dhuha bahkan dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang pernah melihat Rasulullah SAW melaksanaknnya kecuali Ummu Hani RA. Dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata: "Tidak ada seorang pun yang membertahukan kepada kami bahwa ia telah melihat/menyaksikan Nabi SAW melaksanakan sholat dhuha selain Ummu Hani RA, ia berkata : "Sesungguhnya Nabi SAW memasuki rumahnya pada peristiwa Futuh Mekah, kemudian beliau mandi dan sholat delapan rakaat. Tidak pernah sekalipun saya melihat sholat yang paling ringan darinya hanya saja beliau menyempurnakan ruku dan sujudnya" (HR, Bukhori, Muslim, Malik, Tirmidzy, dan Abu Daud)

Adapun hukum mendawamkan (melaksanakn setiap hari/terus menerus) pelaksanaan sholat dhuha bagi umatnya, para ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut ;
A. Jumhurul Ulama menyatakan bahwa disunnahkan untuk mendawamkan pelaksanaan sholat dhuha, karena keumuman hadits : "Amal yang paling dicintai oleh Alloh adalah yang amal yang didawamkan meskipun hanya sedikit" (HR Muslim)
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada yang menjaga pelaksanaan sholat dhuha kecuali Awwab". Beliau pun bersabda : "Ia termasuk sholat Awwabiin" (HR Hakim/Mauquf)

B. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa tidak disunahkan melaksanakan sholat dhuha terus menerus (setiap hari), hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa: "Rasulullah SAW biasa melaksanakan sholat dhuha sehingga kami berkata beliau tidak pernah meninggalkannya, kemudian beliau meninggalkan pelaksannannya sehingga kami berkata beliau tidak pernah melaksanakannya" (HR Tirmidzy/dhoif) Mereka pun beralasan bahwa melaksanakan sholat dhuha terus menerus akan menyerupai pelaksanaan sholat-sholat fardu. (Mausu'ah Fiqhiyyah 27/223)

Adapun sholat sunnah yang baru datang dari safar biasa Rasulullah SAW laksanakan di Masjid. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Ka.ab bin Malik RA, : "Rasulullah SAW apabila datang dari berpergian, beliau datang ke Masjid dan melaksanakan sholat dua rakaat kemudian beliau duduk mengahadap para shahabatnya" (HR. Bukhori Muslim) Di dalam hadis ini, diterangkan bahwa disunnahkan bagi mereka yang baru datang dari bebergian agar dalam keadaan berwudhu dan hendaklah mendatangi masjid terlebih dahulu sebelum rumahnya dan melaksanakan sholat di dalamnya. Dan ini berbeda dengan sholat dhuha.

Wallahu a`lam bishshowab.

Sumber : www.syariahonline.com

Senin, 30 November 2009

Bolehkah shalat dhuha berjamaah?

shalat dhuha

Soal:

assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
ustadz bagaimana kualitas hadits ini ustad

Dalam kitab Fathul Bari (Syarah Shahih Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dinukilkan hadis ‘Itban bin Malik RA tersebut, bahwa Rasulullah SAW telah melakukan sholat Dhuha (subhata adh-dhuha) di rumahnya [rumah 'Itban bin Malik], lalu orang-orang berdiri di belakang beliau dan mereka pun sholat dengan sholat beliau. (fa-qaamuu waraa`ahu fa-shalluu bi-shalaatihi). (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 4/177).

bisa sebagai hujah untuk sholat dhuha berjamaah tidak ustadz?

mohon penjelasannya ustadz
agar saya tida menjadi ahlul bid'ah
terimakasih
wasalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh

xxxx
Alamat: xxxx, surakarta
Email: hi_xxxx@yahoo.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spambot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya (nama, alamat lengkap dan email kami sembunyikan)

Jawab:

Riwayat ‘Itban bin Malik tersebut memang betul terdapat dalam Fathul Baari sebagai berikut.

مَا رَوَاهُ أَحْمَد مِنْ طَرِيق اَلزُّهْرِيّ عَنْ مَحْمُود بْن اَلرَّبِيع عَنْ عِتْبَان بْن مَالِك " أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي بَيْتِهِ سُبْحَة اَلضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ "

Ada riwayat dari Imam Ahmad dari jalur Az Zuhriy, dari Mahmud bin Ar Robi’, dari ‘Itban bin Malik, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahnya, lalu para sahabat berada di belakang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengikuti shalat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan.[1]

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya. Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini dikeluarkan pula oleh Muslim dari riwayat Ibnu Wahb dari Yunus dalam hadits yang cukup panjang, tanpa menyebut “shalat Dhuha”.[2] Al Haitsami mengatakan bahwa para perowinya adalah perowi yang shahih.[3] Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sebagaimana syarat Bukhari-Muslim.[4]

Namun apakah hadits ini bisa sebagai dalil untuk melaksanakan shalat Dhuha rutin secara berjama’ah?

Alangkah bagusnya jika kita memahami bagaimana hukum melaksanakan shalat sunnah secara berjama’ah.

Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik[5]; beliau pun pernah melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas.[6]

Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau rahimahullah mengatakan,

وَفِيهِ مَشْرُوعِيَّة الْجَمَاعَة فِي النَّافِلَة

“Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.”[7]

An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan,

جَوَاز النَّافِلَة جَمَاعَة ، وَلَكِنَّ الِاخْتِيَار فِيهَا الِانْفِرَاد إِلَّا فِي نَوَافِل مَخْصُوصَة وَهِيَ : الْعِيد وَالْكُسُوف وَالِاسْتِسْقَاء وَكَذَا التَّرَاوِيح عِنْد الْجُمْهُور

“Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”[8]

Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengenai hukum mengerjakan shalat nafilah (shalat sunnah) dengan berjama’ah. Syaikh rahimahullah menjawab,

إذا كان الإنسان يريد أن يجعل النوافل دائماً في جماعة كلما تطوع، فهذا غير مشروع، وأما صلاتها أحياناً في جماعة فإنه لا بأس به لورود ذلك عن النبي صلى الله عليه وسلم كما في صلاة ابن عباس معه في صلاة الليل(2)، وكما صلى معه أنس بن مالك رضي الله عنه واليتيم في بيت أم سليم وما أشبه ذلك(3).

“Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas[9]. Sebagaimana pula beliau pernah melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah Ummu Sulaim[10], dan masih ada contoh lain semisal itu.”[11]

Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau mengatakan,

وَأَنَّ مَحَلّ الْفَضْل الْوَارِد فِي صَلَاة النَّافِلَة مُنْفَرِدًا حَيْثُ لَا يَكُون هُنَاكَ مَصْلَحَة كَالتَّعْلِيمِ ، بَلْ يُمْكِنُ أَنْ يُقَال هُوَ إِذْ ذَاكَ أَفْضَل وَلَا سِيَّمَا فِي حَقّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

“Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”

Kesimpulan:

1. Shalat sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri) dan lebih utama lagi dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ

Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731)

2. Terdapat shalat sunnah tertentu yang disyari’atkan secara berjama’ah seperti shalat tarawih.

3. Shalat sunnah selain itu –seperti shalat Dhuha dan shalat tahajud- lebih utama dilakukan secara munfarid dan boleh dilakukan secara berjama’ah namun tidak rutin atau tidak terus menerus, akan tetapi kadang-kadang.

4. Jika memang ada maslahat untuk melakukan shalat sunnah secara berjama’ah seperti untuk mengajarkan orang lain, maka lebih utama dilakukan secara berjama’ah.

Wallahu a’lam bish showab.

Muhammad Abduh Tuasikal

Panggang, Gunung Kidul, 20 Ramadhan 1430 H

http://rumaysho.com


[1] Fathul Baari, 4/177, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[2] Idem

[3] Majma’ Az Zawa-id, 2/278, Darul Fikr, Beirut, cetakan 1412 H

[4] Lihat Ta’liq Syaikh Syu’aib Al Arnauth terhadap Musnad Imam Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo

[5] Sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh penanya.

[6] Al Maqsu’ah Al Fiqhiyyah, Bab Shalat Jama’ah, point 8, 2/9677, Multaqo Ahlul Hadits, Asy Syamilah.

[7] Fathul Baari, 3/421

[8] Syarh Muslim, 3/105, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[9] Hadits muttafaq ‘alaih.

[10] Hadits muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Ash Sholah, Bab Ash Sholah ‘alal Hashir (380) dan Muslim dalam Al Masaajid, Bab Bolehnya shalat sunnah secara berjama’ah 266 (658)

[11] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/231, Asy Syamilah

Sumber : http://rumaysho.com


Dr. Ayman Khalil: Shalat Dhuha Berjamaah Tidak Diperbolehkan


Menurut Ayman, hukum mendirikan shalat dhuha secara berjamaah dalam jumlah massal tidak diperkenankan secara fikih

Hidayatullah.com--Salah satu da'i dan tokoh Islam terkemuka Mesir, Dr. Ayman Khalil, menyatakan bahwa hukum mendirikan shalat dhuha secara berjamaah dalam jumlah massal tidak diperkenankan secara hukum fikih.

Menguatkan pendapatnya, Khalil menyatakan, tidak ada satu pun dari ahli fikih, baik klasik atau pun kontemporer, yang menegaskan bolehnya melaksanakan shalat sunnah pagi hari secara berjamaah di tempat umum.

"Tidak ada dalil agama yang memperbolehkannya. Sayyidah Aisyah sendiri pernah berkata, ia tidak pernah melihat Nabi Muhammad melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah," tutur Khalil dalam acara televisi bertajuk Fatawa ar-Rahmah, yang ditayangkan oleh stasiun televisi ar-Rahmah Mesir Selasa (14/7).

Dalam salah satu kaidah usul fikih (madzhab Hanafi), dikatakan bahwa asal segala hukum adalah tidak boleh, sehingga ada dalil yang memperbolehkannya (al-ashlu fi al-asyya at-tahrim, hatta yadullu alaihi ad-dalil bi jawazihi).

Khalil menegaskan, dalil-dalil syara' yang ada dan berkaitan dengan shalat dhuha adalah dilaksanakannya ibadah sunnah itu secara furada (sendiri), dan buka dalam jamaah.

Khalil mengisahkan hadits Ibnu Mas'ud, bahwa suatu hari ia melihat sekelompok orang tengah melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah di sebuah masjid. Ibnu Mas'ud kemudian membubarkan mereka dengan memukulkan tongkat. Sebagian ahli ilmu menganggap, Ibnu Mas'ud melarang shalat dhuha dan menganggapnya tidak disunatkan. Tetapi, ternyata, Ibnu Mas'ud hanya mencegah orang-orang agar tidak melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah.

Meski demikian, tambah Khalil, ada beberapa shalat sunnah yang boleh didirikan secara berjamaah, bahkan di-mustahab-kan (dianjurkan), semisal shalat id, kusuf, khusuf, istisqa, shalat malam, tarawih, dan lain-lain. [atj/rmh/www.hidayatullah.com]

sumber : http://www.hidayatullah.com/

Selasa, 24 November 2009

Pelajaran Berpikir Positif dari Surat Adh-Dhuha

dakwatuna.com – Surat Adh-Dhuha memberikan pengajaran dengan sangat mendalam tentang Berpikir Positif. Di lain pihak, Shalat Sunnah Dhuha banyak dianggap sebagai Shalat Sunnah mohon rezki. Lantas apa hubungan dari hal itu semua?

Arti dari Dhuha adalah saat matahari naik di pagi hari. Oleh karena itu waktu ideal melaksanakan shalat Dhuha adalah ketika matahari naik sepenggalan atau sekitar pukul 8, walaupun diperkenankan sejak matahari mulai terbit (sekitar pukul 6.00 s.d 6.30).

Surat ini dimulai dengan qasam (sumpah) dengan huruf wâw (و) dan dhuhâ (ضُحَى) sebagai muqsamu bih-nya (مُقْسَمٌ بِهِ, obyek yang digunakan untuk bersumpah). Pendapat yang berlaku di kalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa sumpah al-Qur’an dengan wâw mengandung makna pengagungan terhadap muqsamu bih (مُقْسَمٌ بِهِ). Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa sumpah Allah dengan sebagian makhluk-Nya menunjukkan bahwa ia termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang besar. Menurut Muhammad Abduh, sumpah dengan dhuhâ (cahaya matahari di waktu pagi) dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya dan besarnya kadar kenikmatan di dalamnya. Berarti pada saat matahari naik di pagi hari (Dhuha) dan pada saat sunyinya malam ada rahasia penting tentang nikmat Allah di dalamnya.

Mari kita renungkan satu persatu lanjutan ayat-ayatnya.

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ


“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”

Para mufassir sepakat bahwa latar belakang turunnya surat ini adalah keterlambatan turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW Keadaan ini dirasakan berat oleh Rasul, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Muhammad SAW telah ditinggalkan oleh Tuhan nya dan dibenci-Nya.

Ayat ini memberikan taujih (arahan) kepada Rasulullah SAW agar tetap berpikir positif kepada Allah SWT, dan tidak menduga-duga hal negatif atau hal buruk seperti yang ada di pikiran orang-orang munafik dan musyrik.

وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ ۚ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ


“dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk…” (QS. 48 ayat 6)

Jika pun hidup kita berjalan tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Yakinlah hari-hari kemudian akan lebih baik dari hari-hari sekarang dan hari-hari yang telah lalu.

وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ


“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”

Berprasangka baiklah Allah SWT akan memberikan karunia dan rahmat yang besar di hari-hari esok, dan JANGAN BERPUTUS ASA!

اِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْفَأَلَ و يَكْرَهُ التَّسَاؤُم


“Sesungguhnya Allah mencintai sikap optimis dan membenci sikap putus asa” (Hadits)

Kalaupun sepanjang hidup kita di dunia selalu dalam kesulitan dan kesempitan, kita tetap berpikir positif bahwa kelimpahan dan kenikmatan akan Allah berikan kepada kita di Hari Akhirat. Maka orang yang bisa berpikir positif seperti itu, tetap tersenyum bahagia dalam menjalankan kehidupan sulitnya di dunia.

وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ


“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”

Optimis dan yakin berjumpa Allah di hari Akhir nanti dan mendapatkan limpahan karunia-Nya yang tak terkira, sungguh akan memuaskan hati kita. Karunia Allah kepada penduduk dunia seperti air menetes dari jari yang dicelupkan ke lautan, dibandingkan karunia Allah di hari Akhirat yang seluas lautan itu sendiri.

Bagaimana agar kita selalu berpikir positif? Ingatlah semua nikmat-nikmat Allah yang jika kita hitung tentu tidak akan sanggup.

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ, وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ, وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى


“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?”

Ingat, renungkan rasakan betapa luas nikmat Allah kepada kita. Apa nikmat Allah yang paling Anda syukuri? Di antaranya adalah, Anda bisa melihat tulisan ini, yang melibatkan kerja milyaran sel, prajurit-prajurit Allah SWT. Bagaimana jika sel-sel itu tidak bekerja?

Yuk kita bersyukur dengan lisan, pikiran dan perasaan. Nikmat sekecil apapun! Dengan lisan ucapkan “Alhamdulillah”, didukung dengan pikiran dan perasaan kita. Sampaikan rasa terima kasih tak berhingga seperti seorang pengemis yang berhari-hari kekurangan makan dan diberi makan oleh seorang kaya, seperti seorang pasien yang sudah berbulan-bulan menderita sakit dan disembuhkan dengan bantuan seorang dokter. Yang Allah berikan kepada kita lebih dari orang kaya dan dokter tersebut di atas, namun mengapa kita lupa mengucapkan terima kasih kepada-Nya? Pantas jika Allah belum menambah nikmat kepada kita, nikmat-nikmat yang lalu saja belum kita syukuri sebagaimana mestinya.

Kalaupun ada kesulitan dan kekurangan dalam hidup kita, tetap saja karunia dan kelimpahan dari Allah masih jauh lebih besar. Lihatlah ke bawah, orang-orang yang lebih susah dari kita, lebih sakit dari kita, lebih miskin dari kita. Jangan selalu melihat ke atas. Melihat ke bawah akan menghaluskan jiwa, melembutkan perasaan, menghidupkan syukur dan mengobati stress, ketidakpuasan dan putus asa.

Setelah bersyukur dengan lisan, pikiran dan perasaan, syukur sejati adalah syukur dengan ‘amal.

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ, وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ


“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.”

Seorang yang bersyukur akan memanfaatkan nikmat-nikmat yang diperolehnya untuk ibadah, amal shalih, dan perbuatan baik terhadap sesama. Itulah yang dimaksud dalam ayat pamungkas surat ini :

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ


Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan. Wallahu a’lam.

Oleh: Agung Yulianto

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2009/pelajaran-berpikir-positif-dari-surat-adh-dhuha/

Rabu, 07 Oktober 2009

Sepuluh Langkah Menjemput Rezeki

Banyak jalan yang bisa ditempuh untuk menjemput rezeki. Berikut sepuluh diantaranya..

1. Taqwa
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya,” (QS ath-Thalaq: 2-3).

2. Tawakal
Nabi s.a.w. bersabda: “Seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, nescaya kamu diberi rezeki seperti burung diberi rezeki, ia pagi hari lapar dan petang hari telah kenyang.” (Riwayat Ahmad, at-Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim dari Umar bin al-Khattab r.a.)

3. Shalat
Firman Allah dalam hadis qudsi: “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang (solat Dhuha), nanti pasti akan Aku cukupkan keperluanmu pada petang harinya." (Riwayat al-Hakim dan Thabrani)

4. Istighfar
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirim-kan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu ke-bun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai" (QS Nuh: 10-12).

“Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan, dan Allah akan memberinya rezeki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka,” (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim).

5. Silaturahmi
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaknyalah ia menyambung (tali) silaturahim.”

6. Sedekah
Sabda Nabi s.a.w.: “Tidaklah kamu diberi pertolongan dan diberi rezeki melainkan kerana orang-orang lemah di kalangan kamu.” (Riwayat Bukhari)

7. Berbuat Kebaikan
"Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS Alqashash:84)

Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah tdk akan zalim pd hambanya yg berbuat kebaikan.Dia akan dibalas dengan diberi rezeki di dunia dan akan dibalas dengan pahala di akhirat.(HR. Ahmad)

8. Berdagang
Dan Nabi SAW bersabda: “Berniagalah, karena sembilan dari sepuluh pintu rezeki itu ada dalam perniagaan” (Riwayat Ahmad)

9. Bangun Pagi
Fatimah (putri Rasulullah) berkata bahwa saat Rasulullah ( S.A.W.) melihatnya masih terlentang di tempat tidurnya di pagi hari, beliau (S.A.W.) mengatakan kepadanya, "Putriku, bangunlah dan saksikanlah kemurahan-hati Tuhanmu, dan janganlah menjadi seperti kebanyakan orang. Allah membagikan rezeki setiap harinya pada waktu antara mulainya subuh sampai terbitnya matahari. ( H.R. Al-Baihaqi)

Aisyah juga meceritakan sebuah hadits yang hampir sama maknanya, yang mana Rasulullah (S.A.W.) bersabda, "Bangunlah pagi-pagi untuk mencari rezekimu dan melakukan tugasmu, karena hal itu membawa berkah dan kesuksesan. (H.R. At-Tabarani)

10. Bersyukur
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim:7)

Sumber : http://andyrachmat.blogspot.com/2008/01/delapan-langkah-menjemput-rezeki.html

Inspirasi Menjemput Rezeki

Hadits-Hadits Tentang Rezeki

1. Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)

2. Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencaharianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya. (HR. Abu Zar dan Al Hakim)

3. Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)

4. Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah. (HR. Ahmad)

5. Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah. (HR. Ath-Thabrani)

6. Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal. (HR. Ad-Dailami)

7. Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak. (Mutafaq'alaih)

8. Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri. (HR. Bukhari)

9. Apabila dibukakan bagi seseorang pintu rezeki maka hendaklah dia melestarikannya. (HR. Al-Baihaqi)

Keterangan:

Yakni senantiasa bersungguh-sungguh dan konsentrasi di bidang usaha tersebut, serta jangan suka berpindah-pindah ke pintu-pintu rezeki lain atau berpindah-pindah usaha karena di khawatirkan pintu rezeki yang sudah jelas dibukakan tersebut menjadi hilang dari genggaman karena kesibukkan nya mengurus usaha yang lain. Seandainya memang mampu maka hal tersebut tidak mengapa.

10. Seusai shalat fajar (subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikan kamu untuk mencari rezeki. (HR. Ath-Thabrani)

11. Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu. Sesungguhnya pada pagi hari terdapat barokah dan keberuntungan. (HR. Ath-Thabrani dan Al-Bazzar)

12. Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi hari mereka (bangun fajar). (HR. Ahmad)

13. Barangsiapa menghidupkan lahan mati maka lahan itu untuk dia. (HR. Abu Dawud dan Aththusi)

Keterangan:

Hal tersebut khusus untuk lahan atau tanah kosong yang tidak ada pemiliknya. Jika lahan atau tanah kosong tersebut ada pemiliknya maka tidak boleh diambil dengan jalan yang bathil.

14. Carilah rezeki di perut bumi. (HR. Abu Ya'la)

15. Pengangguran menyebabkan hati keras (keji dan membeku). (HR. Asysyihaab)

16. Allah memberi rezeki kepada hambaNya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya serta ambisinya. (HR. Aththusi)

17. Mata pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh kebajikan dan dari hasil keterampilan tangan. (HR. Al-Bazzar dan Ahmad)

18. Sebaik-baik mata pencaharian ialah hasil keterampilan tangan seorang buruh apabila dia jujur (ikhlas). (HR. Ahmad)

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Sumber : http://www.squidoo.com/menjemput-rezeki

Selasa, 08 September 2009

Mencari Mardlatillah


Cetak E-mail
Ditulis oleh Ustadz Ma'luful Anam, Lc

Jarang orang merumuskan tujuan hidupnya. Merumuskan apa yang dicari dalam hidupnya, apakah hidup­nya untuk makan atau makan untuk hidup. Banyak orang sekedar menjalani hidupnya, mengikuti arus kehidupan, terkadang berani melawan arus, dan menyesuaikan diri, tetapi apa yang dicari dalam melawan arus, menyesuaikan diri dengan arus atau dalam pasrah total kepada arus, tidak pernah dirumuskan secara serius. Ada orang yang sepanjang hidupnya bekerja keras mengumpulkan uang, tetapi untuk apa uang itu dan mau ditasrufkan kemana baru dipikirkan setelah uang terkumpul, bukan dirumuskan ketika memutuskan untuk mengumpulkannya. Ada yang ketika mengeluarkan uang tidak sempat merumuskan tujuannya, sehingga hartanya terhambur-hambur tanpa arti. Ini adalah model orang yang hidup tidak punya konsep hidup.

Makna tentang tujuan hidup sampai kapan pun masih tetap penting untuk direnungkan. Bagaimanapun seorang Muslim mesti sadar bahwa hidup di dunia ini bersifat sementara tidak kekal bahkan terlampau singkat. Kita cuma diberikan kesempatan yang sangat sebentar, bagaikan seorang musafir yang berhenti di sebuah oase, setelah istirahat sebentar dia mempersiapkan perbekalan lalu melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir.

Rumusan tujuan hidup yang didasari pada nilai ajaran agama menempati posisi sentral, yakni orang yang hormat dan tunduk kepada nilai-nilai agama yang diyakininya, melalui pemahaman yang benar dan matang terhadap ajaran agama, Menurut ajaran Islam, tujuan hidup manusia ialah untuk menggapai ridha Allah, ibtigha mardhatillah. Allah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 207 ومن الناس من يشرى نفسه ابتغاء مرضاة الله والله رؤوف بالعباد, yang arti­nya : “Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”

Ridha artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan hidup seorang Muslim, terpulang kepada apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau diridhai Allah SWT atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridha-Nya, maka apapun yang diberikan Allah kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridha (senang) pula, ridha dan diridhai (radhiyatan mardhiyah)

Kita bisa mengetahui sesuatu itu diridhai atau tidak oleh Allah. Tolok ukur pertama adalah syariat atau aturan yang ditetapkan agama, sesuatu yang diharamkan atau dilarang oleh Allah pasti tidak diridhai dan bila kita melakukannya atu melanggarnya kita akan mendapat dosa; dan sesuatu yang halal atau diperintahkan agama pasti diridhai yang apabila kita mengerjakannya kita akan mendapat pahala. Selanjutnya nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya memberi kepada orang yang meminta karena kebutuhan adalah sesuatu yang diridhai-Nya; tidak memberi tidak berdosa tetapi kurang disukai.

Indikator ridha Allah juga dapat dilihat dari dimensi horizontal, Nabi bersabda : “Bahwa ridha Allah ada bersama ridha kedua orang tua, dan murka Allah ada bersama murka kedua orang tua”. Semangat untuk mencari ridha Allah sudah barang tentu hanya dimiliki orang-orang yang beriman, sedangkan bagi mereka yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya dan prilakunya sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang yang minus beragama, karena toh setiap manusia memiliki akal yang bisa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.

Metode untuk mengetahui ridla Allah SWT juga diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dengan cara bertanya kepada hati sendiri, istafti qalbaka. Orang bisa berdusta, berbohong dan mengelabui orang lain, tetapi ia tidak dapat melakukannya kepada hati sendiri. Hanya saja hati orang berbeda-beda. Hati yang gelap, hati yang kosong, dan hati yang mati, sulit dan bahkan tidak bisa ditanya. Hati juga kadang-kadang tidak konsisten, oleh karena pertanyaan paling tepat kepada hati nurani, Nurani berasal arti kata nur, cahaya. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung dengan ridha Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme, dan kemaksiatan.

Menurut ajaran Islam, tugas hidup manusia, sepanjang hidupnya hanya satu tugas, yaitu menyembah Allah, Sang Pencipta, atau dalam bahasa harian disebut ibadah. Allah berfirman dalam kitab suci al Qur'an yang berbunyi "وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون yang artinya "tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku". Menjalankan ibadah bukanlah tujuan hidup, tetapi merupakan tugas yang harus dikerjakan oleh mahluk Allah sepanjang hidupnya. Ibadah mengandung arti untuk menyadari dirinya kecil tak berarti, meyakini kekuasaan Allah Yang Maha Besar, Sang Pencipta, dan disiplin dalam kepatuhan kepada-Nya. Oleh karena itu orang yang menjalankan ibadah mestilah bersikap rendah hati, tidak sombong, menghilangkan egoisme dan Istiqomah untuk terus berupaya agar selalu dalam ridla dan bimbingan-Nya. Itulah etos ibadah. Ibadah ada yang bersifat mahdhah/murni, yakni ibadah yang hanya memiliki satu dimensi, yaitu dimensi vertikal, patuh tunduk kepada Allah Yang Maha Kuasa, seperti shalat dan puasa. Ibadah juga terbagi menjadi dua klasifikasi; ibadah khusus dan ibadah umum. Ibadah khusus adalah ritual yang bersifat baku yang ketentuannya langsung dari wahyu atau dari Nabi Muhammad SAW, sedangkan ibadah umum adalah semua perbuatan yang baik, dikerjakan dengan niat baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula.

Ibadah khusus seperti shalat lima waktu sehari semalam adalah tugas, taklif dari Allah SWT yang secara khusus diperuntukkan kepada orang-orang mukmin yang telah baligh. Puasa, Zakat (zakat fitrah, zakat mal) bagi yang telah memenuhi syaratnya, dan ibadah haji bagi yang mampu, memotong hewan kurban bagi yang mampu semuanya adalah taklif.

Dan ibadah ghairu mahdhah, seperti berbisnis, karena inti dari berbisnis adalah membantu mendekatkan orang lain dari kebutuhannya. Menuntut ilmu adalah ibadah yang sangat besar nilainya asal dilakukan dengan niat baik dan cara yang baik pula. Dengan demikian kita dapat melakukan tugas ibadah dalam semua aspek kehidupan kita, sesuai dengan bakat, minat, dan profesi kita. Perbedaan pandangan hidup akan menghasilkan perbedaan nilai dan persepsi. Orang yang tidak mengenal ibadah, mungkin sangat sibuk dan lelah mengerjakan tugas sehari-hari, tetapi nilainya nol secara vertikal, sementara orang yang mengenal ibadah, mungkin sama kesibukannya, tetapi cara pandangnya berbeda dan berbeda pula dalam mensikapi kesibukan, maka secara psikologis/kejiwaan ia tidak merasa lelah karena merasa sedang beribadah.

Manusia memiliki dua peran utama di dunia ini; pertama sebagai hamba Allah, dan peran kedua sebagai khalifah (Wakil) Allah di muka bumi. Sebagai hamba Allah manusia adalah kecil dan tidak memiliki kekuasaan, oleh karena itu tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya.

Namun, sebagai khalifah, manusia diberi fungsi, peran yang sangat besar, karena Allah Yang Maha Besar maka manusia sebagai wakil Allah di muka bumi memiliki tanggungjawab dan otoritas yang sangat besar. Sebagai khalifah manusia diberi tugas untuk mengelola alam semesta ini untuk kesejahteraan manusia Oleh karenanya manusia dituntut beramal shaleh, menghindari dosa, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat mungkar, jujur dan menghiasi diri dengan sikap yang dianjurkan oleh agama.

Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/buletin-jumat/1161-mencari-mardlatillah

Senin, 07 September 2009

Doa yang diucapkan setelah selesai wudhu,



أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ. سُبْحَانَكَ اَللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأتُوْبُ إِلَيْكَ.

"Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya. Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menyucikan diri. Mahasuci Engkau ya Allah, aku memujiMu. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau, aku minta ampun dan bertaubat kepadaMu."

Kami meriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhuma berkata, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ تَوَضَّأَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ، يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ.

'Barangsiapa yang berwudhu lalu mengucapkan, 'Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan RasulNya', dibukakan untuknya pintu-pintu surga yang delapan, dan dia dapat masuk dari pintu manapun yang diinginkannya'." Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya. ((2 - Thaharah, 6 - Dzikir yang dianjurkan setelah wudhu, 1/209/234).Kitab ath-Thaharah, Bab adz-Dzikr al-Mustahab Aqiba al-Wudhu', 1/209, no. 234, pent.)

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan tambahan,


اَللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.

"Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menyucikan diri."

(Tidak mengapa): Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharah, Bab Ma Yuqalu Inda al-Wudhu', 1/77, no. 55. (1 - Thaharah, 41 - Apa yang diucapkan setelah wudhu, 1/77/55). Ja'far bin Muhammad menyampaikan kepada kami, Zaid bin Hubab menyampaikan kepada kami, dari Muawiyah bin Shalih, dari Rabi'ah bin Yazid ad- Dimaisyqi, dari Abu Idris al-Khaulani dan Abu Usman, dari Umar dengan hadits tersebut.
Al-Asqalani di dalam Amal al-Adzkar (2/19-Futuhat) berkata, "Tambahan yang ada di dalam at-Tirmidzi ini tidak shahihshahih dalam hadits ini, karena Ja'far bin Muhammad meriwayatkannya sendirian dan dia tidak menghafal sanad dengan baik... Kesepakatan semua rawi adalah lebih baik daripada satu orang." Kemudian aku menemukan syahidsyahid yang lemah untuknya di dalam riwayat at-Thabraniath-Thabrani di al-Ausathdalam al-Mu'jam al-Ausath (no. 4892), Ibn as-Sunni (no. 32), al-Ashbahani di dalam at-Targhib (no. 2041) dari hadits Tsauban. Juga syahidsyahid lain dari hadits al-Barra di al-Mustaghfiri di dalam ad-Da'awat (2/16 -Futuhat) dengan sanad yang sangat lemah sekali. Lalu syahidsyahid ketiga dari perbuatan Ali di Ibnu Abi Syaibah (no. 20) dengan sanad dhaif. Kesimpulannya dari syahidsyahid-syahidsyahid ini yang terbaik adalah yang pertama, maka mudah-mudahan tambahan ini menjadi kuat sehingga ia mencapai derajat hasanhasan karenanya. Al-Asqalani, Ahmad Syakir dan al-Albani cenderung kepadanya.

An-Nasa`i dalam al-Yaum wal Lailah dan lainnya meriwayatkan,


سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ...

"Mahasuci Engkau ya Allah dan aku memujiMu... sampai akhir.

Takhrij Hadits: Shahih:, Diriwayatkan oleh an-Nasa'ian-Nasa`i di dalam al-Yaum wal Lailahal-Yaum wa al-Lailah (no. 81), at-Thabraniath-Thabrani di al-Ausathdalam al-Mu'jam al-Ausath no. (1478) dan ad-Du'a' (no. 388-390), Ibn as-Sunni (no. 30), al-Hakim (1/564), al-Ashbahani no. (2042:) dari jalan Abu Hasyim (dari Abu Majlaz), dari Qais bin Abbad, dari Abu SaidSa'id dengan hadits tersebut.
An-Nasa'iAn-Nasa`i berkata, "Ini adalah kekeliruan dan yang benar adalah mauqufmauquf." Ia didhaifkan oleh an-Nawawi. Al-Asqalani mengkritik an-Nasa'ian-Nasa`i dan an-Nawawi di dalam Amal al-Adzkar (2/21-Futuhat) dengan mengatakan, "Sanad ini shahihshahih tanpa keraguan. Yang diperselisihkan adalah apakah ia marfumarfu atau mauqufmauquf. An-Nasa'iAn-Nasa`i sendiri berjalan di atas caranya metodenya sendiri yaitu mentarjih dengan berpegang kepada yang lebih banyak dan lebih akurat hafalannya. Oleh karena itu dia memvonis salah, riwayat marfumarfu'. Adapun yang dipilih oleh Syaikh sendiri (yakni an-Nawawi) mengikuti Ibnu Shalah dan lain-lainnya maka riwayat yang marfumarfu lebih didahulukan, karena rawi yang meriwayatkan dengan marfumarfu' memiliki tambahan ilmu. Kalaupun mengikuti cara yang pertama yaitu cara an-Nasa'ian-Nasa`i, maka perkara ini termasuk perkara yang tidak membuka peluang bagi akal, maka ia berhak mengambil marfumarfu." Al-Albani menyetujuinya. Al-Hakim berkata, "Di atas syaratBerdasarkan syarat Muslim." Dan disetujui oleh adz-Dzahabi, tetapi al-Albani mengkritik keduanya dan mengatakan, "Justru ia di atas syaratberdasarkan syarat asy-Syaikhain."
 Catatan: Perhatikanlah bahwa tambahan ini adalah hadits baru lain (tersendiri) bukan riwayat lain dari riwayat-riwayat hadits Umar sebelumnya sebagaimana hal itu bisa dipahami secara salah dari apa yang dilakukan oleh an-Nawawi.
(Dhaif sekali),: Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (1/92) dari jalan Muhammad bin Abdurrahman al-Bailamani, dari bapaknya, dari Ibnu Umar dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad yang sangat parah sekali, Muhammad bin Abdurrahman adalah rawi matruk yang tertuduh, bapaknya adalah rawi dhaif dan yang umum riwayatnya ini adalah mursalmursal, kemudian keduanya mengalami kegocangan memiliki kesimpang siuran (goncang) padanya, maka ia diriwayatkan oleh at-Thabraniath-Thabrani di dalam ad-Du'a' (no. 387); ad-Daruquthni (1/92:) dari jalan yang sama dari musnadmusnad Utsman bin Affan. Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh ad-Daruquthni, an-Nawawi dan al-Asqalani meskipun ia lebih dhaif dari sekedar dhaif.

Kami meriwayatkan dalam Sunan ad-Daruquthni dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ اْلوُضُوْئَيْنِ.

"Barangsiapa berwudhu kemudian mengucapkan, 'Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan RasulNya', sebelum berbicara niscaya diampuni baginya (dosa-dosanya) di antara kedua wudhu."

Takhrij Hadits: Dhaif sekali: Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni 1/92 dari jalan Muhammad bin Abdurrahman al-Bailamani, dari bapaknya, dari Ibnu Umar dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad yang sangat parah sekali, Muhammad bin Abdurrahman adalah rawi matruk yang tertuduh, bapaknya adalah rawi dhaif dan yang umum riwayatnya ini adalah mursal, kemudian keduanya memiliki kesimpang siuran (goncang) padanya, maka ia diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam ad-Du'a' no. 387; ad-Daruquthni 1/92: dari jalan yang sama dari musnad Utsman bin Affan. Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh ad-Daruquthni, an-Nawawi dan al-Asqalani meskipun ia lebih dhaif dari sekedar dhaif.

Kami meriwayatkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Ibnu Majah dan kitab Ibn as-Sunni dari riwayat Anas Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,


مَنْ تَوَضَّأ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ قَالَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبدُهُ وَرَسُوْلُهُ، فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ دَخَلَ.

"Barangsiapa berwudhu lalu dia membaguskan wudhunya kemudian dia mengucapkan sebanyak tiga kali, 'Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan RasulNya,' niscaya dibukakan untuknya delapan pintu surga dia masuk dari pintu mana saja yang dia suka."

Takhrij Hadits: Dhaif sekali: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 22; Ahmad 3/265; Ibnu Majah Kitab Thaharah, Bab Ma Yuqalu Ba'da al-wudhui, 1/159 no. 469; ath-Thabrani dalam ad-Du'a' no. 385 dan 386; Ibn as-Sunni no. 33: dari beberapa jalan dari Amr bin Abdullah bin Wahab an-Nakha'i, dari Zaid al-Ammi, dari Anas dengan hadits tersebut. Ini adalah sanad yang sangat dhaif, di dalamnya terdapat tiga 'illat.
Pertama: Zaid al-Ammi adalah rawi dhaif.
Kedua: riwayatnya dari Anas adalah mursal sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Hatim.
Ketiga: Kegoncangan padanya sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Asqalani dalam Amal al-Adzkar no. 2/22-Futuhat di mana dia berkata, "Ia diriwayatkan oleh anaknya darinya maka anaknya menyelisihinya pada sanad dan tidak terdapat padanya pengulangan." Sanad seperti ini lebih dekat kepada kedhaifan yang parah, di mana syahid pun tidak bisa membantunya. Oleh karena itu ia didhaifkan oleh an-Nawawi, al-Bushiri, al-Asqalani dan al-Albani, sebagai gantinya adalah hadits Umar yang telah hadir di no. 75.

Kami meriwayatkan pengulangan syahadat la ilaha illallah tiga kali di kitab Ibn as-Sunni dari riwayat Utsman bin Affan dengan sanad dhaif.

Takhrij Hadits: Maudhu': Diriwayatkan oleh Ibn as-Sunni no. 29: Abdullah bin Muhammad bin Ja'far menyampaikan kepada kami, Sa'id bin Muhammad al-Bairuti menyampaikan kepada kami, Sulaiman bin Abdurrahman menyampaikan kepada kami, Abdurrahman bin Sawar menyampaikan kepada kami, Amr bin Ma'mun bin Mihran menyampaikan kepada kami, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Usman, maka dia menyebutkannya dalam kata-kata tersusun.
Al-Asqalani berkata dalam Amal al-Adzkar (2/22-Futuhat), "Aku tidak mengetahui rawi untuknya dari Amr." Dia juga berkata, "Syaikh Ibn as-Sunni pada hadits ini adalah Abdullah bin Muhammad bin Ja'far al-Qazwini, hakim Mesir, di akhir umurnya dia tertuduh memalsukan hadits." Hadits ini tidak sekedar dhaif bahkan sangat dhaif atau maudhu'.

Syaikh Nashr al-Maqdisi berkata, "Doa-doa itu tadi disertai dengan,
' اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ' dengan ditambah, وَسَلَّمَ . (Membaca shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dianjurkan di setiap waktu. Adapun pembatasannya setelah dzikir wudhu maka ia adalah bid'ah yang tidak berdasar, tidak dalam kitabullah, tidak dalam Sunnah Rasul dan tidak pula dilakukan oleh as-Salaf ash-Shalih. Berpeganglah dengan apa yang shahih dari Nabimu dan campakkanlah selainnya. Jangan menjadi orang yang ikut-ikutan (taklid) secara buta, pent.)

Kawan-kawan kami berkata, "Mengucapkan dzikir ini dengan menghadap kiblat (Al-Asqalani dalam Amal al –Adzkar 2/27-Futuhat berkata, "Aku tidak melihat dalam perkara menghadap kiblat dalil yang jelas yang khusus dengan wudhu." Aku berkata, "Maka hukumnya sama dengan dzikir-dzikir lainnya, jika tidak menghadap kiblat maka tidak mengapa. Jika menghadap maka ia lebih baik dan lebih utama.", pent.) dan itu dilakukan setelah selesai berwudhu."

Tidak ada doa apa pun dari Nabi pada waktu membasuh anggota wudhu.
Para fuqaha berkata, "Dianjurkan padanya doa-doa yang datang dari Salaf ((Yang dimaksud dengan Salaf di sini adalah sebagian ulama atau ahli zuhud atau ahli tasawuf yang mendahului Imam an-Nawawi, karena anjuran ini tidak bersumber dari as-Salaf ash-Shalih; para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in, justru mereka membencinya dan mencela pelakunya. Asal usul doa ini adalah kumpulan riwayat-riwayat palsu (maudhu') di mana para ulama menyatakannya dusta dan mencela pemiliknya. Semoga Allah memberi pertolongan, pent.), mereka menambah dan menguranginya. Kesimpulan dari apa yang mereka katakan adalah bahwa seseorang mengucapkan setelah basmalah, 'Segala puji bagi Allah yang menjadikan air itu suci dan menyucikan.' Pada waktu berkumur mengucapkan, 'Ya Allah berilah aku minum satu gelas dari telaga NabiMu di mana aku tidak merasa haus setelah itu selama-lamanya.' Pada waktu istinsyaq dia mengucapkan, 'Ya Allah janganlah Engkau mengharamkanku dari aroma nikmat dan SurgaMu.' Pada saat membasuh wajah dia mengucapkan, 'Ya Allah jadikanlah wajahku putih pada hari di mana di situ terdapat wajah putih dan wajah hitam.' Pada saat membasuh kedua tangan, 'Ya Allah berikanlah buku catatan amalku dengan tangan kananku dan janganlah Engkau berikan buku catatan amalku kepadaku dengan tangan kiriku.' Pada saat membasuh kepala dia mengucapkan, 'Ya Allah haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka. Naungilah aku di bawah naunganMu pada hari di mana tiada naungan kecuali naunganMu.' Pada saat mengusap kedua telinga, 'Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mendengarkan ucapan lalu mengikuti yang terbaik.' Pada saat membasuh kedua kaki dia mengucapkan, 'Ya Allah teguhkanlah kedua telapak kakiku di atas shirath jembatan menuju surga'." Wallahu a'lam.

An-Nasa`i dan rekannya Ibn as-Sunni meriwayatkan dalam kitab mereka al-Yaum wal Lailah dengan sanad dari Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,


أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ بِوَضُوْءٍ، فَتَوَضَّأَ، فَسَمِعْتُهُ يَدْعُوْ وَيَقُوْلُ: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ، وَوَسِّعْ لِي فِي دَارِيْ، وَبَارِكْ لِيْ فِي رِزْقِيْ. فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ! سَمِعْتُكَ تَدْعُوْ بِكَذَا وَكَذَا، وَهَلْ تَرَكْنَ مِنْ شَيْءٍ؟

"Aku membawa air wudhu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam, lalu beliau berwudhu maka aku mendengar beliau berdoa dengan mengucapkan, 'Ya Allah ampunilah dosaku, lapangkanlah tempat tinggalku dan berkahilah rizkiku.' Aku berkata, 'Wahai Nabi Allah, aku mendengarmu berdoa begini begini.' Nabi menjawab, 'Apakah ada sesuatu yang tertinggal?"

Takhrij Hafdits: Dhaif: Diriwayatkan Ahmad 4/399, an-Nasa`i dalam [1]Amal al-Yaumi Wa al-Lailah no. 80; Abu Ya'la no. 7273; ath-Thabrani dalam [ad-Du'a' no. 656; Ibn as-Sunni no. 28: dari beberapa jalan, dari Mu'tamin bin Sulaiman, Abbad bin Abbad bin Alqamah menyampaikan kepada kami dari Abu Majlaz dari Abu Musa dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad dengan rawi-rawi tsiqah hanya saja ia memiliki dua illat:
Pertama inqitha. Al-Asqalani dalam Amal al-Adzkar 2/33-Futuhat berkata, "Perkara mendengarnya Abu Mijlaz kepada Abu Musa perlu dikaji karena dia terbiasa meriwayatkan secara mursal dari rawi di mana dia tidak bertemu dengannya.
Kedua: Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 3033 dan 29246 dengan sanad shahih dari Abu Musa secara mauquf. Jalan ini lebih rajih daripada yang sebelumnya. Dalam Tamam al-Minnah hal. 96, al-Albani berkata, "Benar doa yang terdapat di dalam hadits ini memiliki syahid dari hadits Abu Hurairah di at-Tirmidzi no. 3500 dan lainnya, jadi berdoa dengannya secara mutlak tanpa terikat dengan shalat atau wudhu adalah baik." Adapun doa seperti yang ada di sini maka haditsnya didhaifkan oleh al-Asqalani, as-Suyuthi dan al-Albani.
Ibn as-Sunni meletakkan bab untuk hadits ini dengan mengatakan, "Bab apa yang diucapkan di tengah-tengah wudhu". Adapun an-Nasa`i maka dia memasukkannya ke dalam bab, "Bab apa yang diucapkan selesai wudhu." Maka keduanya memungkinkan. (Aku berkata, "Dalam riwayat ath-Thabrani dari beberapa jalan tercantum, 'Lalu Nabi berwudhu kemudian shalat kemudian mengucapkan... dan seterusnya." Oleh karena itu ath-Thabrani meletakkannya dalam bab doa setelah shalat. Al-Asqalani dalam Amal al-Adzkar 2/23-Futuhat berkata, "Ini menolak bab yang diletakkan oleh Ibn as-Sunni karena ia secara jelas dinyatakan sesudah shalat. Ia juga menolak kemungkinan antara wudhu dan shalat." Yang jelas hadits ini dhaif, tidak layak dipegang untuk diamalkan tidak ba'da wudhu dan tidak pula ba'da shalat, pent.)

Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Oleh: Abu Nabiel)

Sumber : http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatdoa&id=170

DOA YANG DIUCAPKAN PADA WAKTU BERWUDHU

Di awal wudhu dianjurkan mengucapkan, "Bismillahir Rahmanir Rahim." Jika mengucapkan, "bismillah" saja maka itu sudah cukup. (Pada dasarnya cukup mengucapkan bismillah saja di awal wudhu. Inilah yang ditunjukkan dalil-dalil berikut di mana tak satu pun darinya menyebut ar-Rahman ar-Rahim di tempat ini. Peganglah sunnah Nabimu yang shahih, jangan lancang di hadapanNya dengan menambah dan mengurangi. Ingatlah firman Tuhanmu, وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا" Dan tidaklah Tuhanmu lupa." (Maryam: 64). Keselamatan seluruh keselamatan ada padanya, pent.)

Kawan-kawan kami berkata, "Jika dia meninggalkan basmalah di awal wudhu maka dia mengucapkan di tengah-tengahnya, jika dia meninggalkannya sampai selesai wudhu maka waktunya telah berlalu, wudhunya shahih, baik dia meninggalkannya karena sengaja atau karena lupa. Ini adalah madzhab kami dan madzhab jumhur ulama." (Yang menyelisihi pendapat ini adalah az-Zhahiriyah, Ishaq dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, di mana mereka mewajibkan basmalah dan pendapat inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut. Pendapat ini dinyatakan rajih oleh asy-Syaukani, Shiddiq Khan dan al-Albani. Dari sini, maka barangsiapa meninggalkannya secara sengaja maka wudhunya tidak sah. Barangsiapa lupa maka dia mengucapkannya pada waktu dia ingat, pent.)

Dalam hal basmalah terdapat hadits-hadits yang dhaif. Terbukti secara shahih bahwa Ahmad bin Hanbal berkata, "Aku tidak mengetahui hadits yang shahih dalam perkara basmalah dalam wudhu." (Al-Asqalani berkata seperti yang dinukil oleh Ibnu IAllan darinya dialam al-Futuhat (2/6), "Penafian ilmu tidak mengharuskan terbuktinya ketiadaanTidak mengetahui tidak berarti sesuatu itu tidak ada. Kalaupun demikian maka penafian ketidakadaan tidak mengharuskan terbuktinya kelemahan, karena ada kemungkinan yang dimaksud dengan ketiadaan adalah ketiadaan yang shahihshahih, jadi masih ada yang hasanhasan, kalaupun demikian maka penafian ketiadaan dari setiap pribadi tidak mengharuskan penafian dari keseluruhan, pent.")

Di antara hadits-hadits tersebut adalah hadits Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,


لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ.

"Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya (baca: yang tidak membaca ,'Bismillah')."

Takhrij Hadits: (ShahihShahih): Penulis menyebutkannya dari hadits beberapa orang sahabat.
 1. Hadits Abu Hurairah diriwayatkan oleh Ahmad (2/418;) Ibnu Majah, Kitab ath-Thaharah, Bab at-Tasmiyah Fi al-Wudhu', 1/140, no. 399; Abu Dawud, Kitab ath-Thaharah, Bab at-Tasmiyah Ala al-Wudhu', 1/73, no. 101; ath-Thabrani dalam ad-Du'a' no. 379; ad-Daruquthni 1/79; al-Hakim 1/146; al-Baihaqi 1/43: dari jalan Muhammad bin Musa al-Makhzumi, dari Ya'qub bin Salamah, dari bapaknya, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.


Ibnu Majah ( 1 - Thaharah, 41 - Basmalah pada waktu wudhu, 1/140/399), Abu Dawud (1 - Thaharah, 48 - Basmalah pada wudhu, 1/73/101), at-Thabrani di ad-Dua' (379), ad-Daruquthni (1/79) dari Ya'qub bin Salamah dari bapaknya dari Abu Hurairah... dengannya. Al-Hakim berkata, "ShahihShahih." Tetapi adz-Dzahabi dan al-Asqalani tidak menyetujuinya, keduanya mendhaifkannya karena Ya'qub dan bapaknya adalah rawi majhul. Begitu pula al-Bukhari berkata dalam at-Tarikh (4/76), "Salamah tidak diketahui mendengar dari Abu Hurairah dan Ya'qub tidak diketahui mendengar dari bapaknya." Akan tetapi hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (1/71) dan al-Baihaqi 1/44 dari jalan Mahmud bin Muhammad azh-Zhafari, Ayyub bin an-Najjar menyampaikan kepada kami, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut. Ini adalah sanad dhaif dengan dua illat'illat: Mahmud tidak kuat, Ayyub tidak mendengar hadits ini dari Yahya sebagaimana hal itu tidak oleh seorang imam hadits sajabanyak dinyatakan oleh ulama hadits.

 2. Hadits SaidSa'id bin Zaid: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 15), Ahmad (4/70, 6/382); Ibnu Majah (ibid, 398); at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharaah, Bab at-Tasmiyah Inda al-Wudhu', 1/37, no. 25 dan 26; ath-Thabrani dalam ad-Du'a' no. 373-377; ad-Daruquthni 1/72; al-Hakim 4/60; al-Baihaqi 1/43: dari jalan Abu Tsifat al-Murri, dari Rabah bin Abdurrahman dari neneknya dari bapak neneknya dengan hadits tersebut. Al-Bukhari berkata, "Ini adalah hadits terbaik dalam masalah ini." Aku berkata, "Ia dhaif atau layak sebagai syahid karena Abu Tsifal dan Rabah adalah rawi yang diterima dengan mutaba'ah."at-Tirmidzi (1 - Thaharah, 20 - Basmalah pada saat wudhu, 1/37/25-26),at-Thabrani

 3. Hadits Abu SaidSa'id al-Khudri diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 14); Ahmad (3/41); Abd bin Humaid ( no. 910 –Mun-takhab;) ad-Darimi (1/116); Ibnu Majah (ibid, 397); at-Thabraniath-Thabrani didalam ad-Du'a' no. (380); Ibn as-Sunni (no. 26); Ibnu Adi (3/1034); al-Hakim (1/147); al-Baihaqi (1/43:) dari beberapa jalan, dari Katsir bin Zaid, dari Rabih bin Abdurrahman bin Abu Said Sa'id, dari kakeknya dengan hadits tersebut.

Dikatakan di dalam az-Zawa`id "HasanHasan." Aku berkata, "HasanHasan dengan syahidsyahid-syahidsyahidnya karena pada Katsir dan Raubaih terdapat kelemahan." Ahmad berkata, "Ini adalah hadits bab ini yang terbaik dalam masalah ini." Ishaq berkata, "Ini adalah yang tershahihshahih dalam babmasalah ini."

 4. Hadits Aisyah, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 16), al-Bazzar (no. 159 – Mukhtashar az-Zawa`id) Abu Ya'la, (no. 4687), at-Thabraniath-Thabrani di dalam ad-Du'a' ( no. 383-384), ad-Daruquthni (1/72) dari jalan Haritsah bin Abur Rijal, dari Amrah, dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ... dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Haritsah adalah rawi yang sangat lemah, oleh karenanya Ahmad berkata, "Ini adalah hadits terdahulu paling dhaif dalam bab masalah ini."

5. Hadits Anas, diriwayatkan oleh Abdul Malik bin Habib (2/17-Futuhat), Abdul Malik ini adalah rawi dhaif dan haditsnya ringkihlemah.

 6. Hadits SahalSahl bin Sa'ad, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (ibid, no. 400); at-Thabraniath-Thabrani di al-Kabirdalam al-Mu'jam al-Kabir (6/121/ no. 5699) dan ad-Du'a' (no. 382); al-Hakim (1/269); al-Baihaqi (2/379:) dari jalan Ubay dan Abdul Muhaimin dua anak Abbas bin SahalSahl bin Sa'ad, dari bapak keduanya, dari kakek keduanya dengan hadits tersebut secara marfumarfu'. Aku berkata, "Ubay dan Abdul Muhaimin adalah dua rawi yang dhaif, oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh adz-Dzahabi dan al-Bushiri."

 Inilah hadits-hadits dari enam orang sahabat, tak satu pun yang selamat dari kelemahan hanya saja padanya tidak ter-dapat rawi yang tertuduh berdusta dan matruk maka hadits seperti ini bisa menjadi kuat dengan mutaba'ah dan syahidsyahidsyawahidnya, jadi hadits di atas adalah shahihshahih tanpa kebimbangan padanya. Para imam berikut cenderung menguatkannya, mereka adalah: Ibnu Abi Syaibah, al-Mundziri, Ibnu Shalah, Ibnul Qayyim, Ibnu Jamaah, Ibnu Katsir, al-Bushiri, al-Hai-tsami, al-Iraqi, al-Asqalani, Ahmad Syakir dan al-Albani.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dan kami meriwayatkannya dari riwa-yat Sa'id bin Zaid, Abu Sa'id, Aisyah, Anas bin Malik, Sahl bin Sa'ad. Semuanya kami riwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi dan lainnya dan semuanya dinyatakan dhaif oleh al-Baihaqi dan lainnya.

Syaikh Abul Fath Nashr al-Maqdisi az-Zahid berkata, "Disunnahkan bagi orang yang berwudhu untuk mengucapkan di awal wudhunya setelah basmalah,


أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

"Aku bersaksi bahwa tidak tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan RasulNya."

Apa yang dia katakan ini tidak mengapa, hanya saja ia tidak memiliki dasar dari as-sunnah dan kami tidak mengetahui seorang pun dari kawan-kawan kami dan selain mereka yang mengatakan demikian." (Jika ia tidak memiliki dasar dari as-Sunnah maka bagaimana bisa dikatakan tidak mengapa? Yang benar ia memiliki dasar sunnah hanya saja ia sangat lemah, tidak dianggap dan tidak disyariatkan. Lihat perinciannya dalam al-Futuhat ar-Rabbaniyah 2/16, pent.) Wallahu a'lam. Bersambung...

Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Oleh: Abu Nabiel)

sumber : http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatdoa&id=169

Sabtu, 22 Agustus 2009

Keutamaan Shalat Dhuha

Oleh :
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul

Mengenai keutamaan shalat Dhuha, telah diriwayatkan beberapa hadits yang diantaranya dapat saya sebutkan sebagai berikut

Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda
"Bagi masing-masing ruas[1] dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah) adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha". Diriwayatkan oleh Muslim[2]

Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman.
"Wahai anak Adam, ruku'lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku mencukupimu di akhir siang" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi[3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, dia berkata :"Tidak ada yang memelihara shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaab)". Dan dia mengatakan, "Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabin)". Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. [4]

Hukum Shalat Dhuha

Hadits-hadits terdahulu dan juga yang semisalnya menjelaskan bahwa shalat Dhuha pada waktu Dhuha (pagi hari) merupakan suatu hal yang baik lagi disukai. [5]

Selain itu, di dalam hadits-hadits tersebut juga terkandung dalil yang menunjukkan disyariatkannya kaum muslimin untuk senantiasa mengerjakannya. [6]

Dan tidak ada riwayat yang menujukkan diwajibkannya shalat Dhuha

Waktu Shalat Dhuha

Waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan waktu terbaik untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah pada saat matahari terik.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut.
Adapun permulaan waktunya, telah ditunjukkan oleh hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma terdahulu. Letak syahidnya di dalam hadits tersebut adalah ; "Ruku-lah untuk-Ku dari awal siang sebanyak empat rakaat".

Demikian juga riwayat yang datang dari Anas Radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
"Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah lalu duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit dan kemudian mengerjakan shalat dua raka'at [7], maka pahala shalat itu baginya seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya" [8]

Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama'ah di masjid, lalu dia tetap berada di dalamnya sehingga dia mengerjakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau orang yang mengerjakan umrah, sama persis (sempurna) seperti ibadah haji dan umrahnya".
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan.
"Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah, kemudian dia duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit…" Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[9]

Adapun keluarnya waktu shalat Dhuha pada waktu zawal, karena ia merupakan shalat Dhuha (pagi).
Sedangkan waktu utamanya telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, bahwasanya dia pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan shalat Dhuha. Lalu dia berkata "Tidaklah mereka mengetahui bahwa shalat selain pada saat ini adalah lebih baik, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda. "Shalat awaabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah) adalah ketika anak-anak unta sudah merasa kepanasan"[10]. Diriwayatkan oleh Muslim [11]

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha Dan Sifatnya

Disyariatkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat Dhuha dengan dua, empat, enam, delapan atau dua belas rakaat.

Jika mau, dia boleh mengerjakannya dua rakaat dua rakaat.
Adapun shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat telah ditunjukkan oleh hadits Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah …Dan semua itu setara dengan ganjaran dua rakaat shalat Dhuha" Diriwayatkan oleh Muslim.[12]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan empat rakaat, telah ditunjukkan oleh Abu Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman :"Wahai anak Adam, ruku'lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku akan mencukupimu di akhir siang" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. [13]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan enam rakaat, ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu : "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dhuha enam rakaat" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa-il. [14]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan delapan rakaat ditunjukkan oleh hadits Ummu Hani, di mana dia bercerita :"Pada masa pembebasan kota Makkah, dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau berada di atas tempat tinggi di Makkah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beranjak menuju tempat mandinya, lalu Fathimah memasang tabir untuk beliau. Selanjutnya, Fatimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya kepada beliau. Setelah itu, beliau mengerjakan shalat Dhuha delapan rekaat" [15] Diriwayatkan Asy-Syaikhani. [16]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadits Abud Darda Radhiyallahu 'anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang danugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya" Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[17]

Dapat saya katakan bahwa berdasarkan hadits-hadits ini, diarahkan kemutlakan yang diberikan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha saat ditanya oleh Mu'adzah :"Berapa rakaat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhua?" Dia menjawab : "Empat rakaat dan bisa juga lebih, sesuai kehendak Allah" [18]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat dua rakaat, telah ditunjukkan oleh keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Shalat malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat" [19]
Dan seorang muslim boleh mengerjakan shalat Dhuha empat rakaat secara bersambungan, sebagaimana layaknya shalat wajib empat rakaat. Hal itu ditunjukkan oleh kemutlakan lafazh hadits-hadits mengenai hal tersebut yang telah disampaikan sebelumnya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Ruku'lah untuk-Ku dari permulaan siang empat rakaat". Dan juga seperti sabda beliau :"Barangsiapa mengerjakan shalat (Dhuha) empat rakaat maka dia ditetapkan termasuk golongan ahli ibadah" Wallahu a'lam

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i]

___________
Foote Note
[1]. Kata sulaamaa adalah bentuk mufrad (tunggal) dan jamaknya adalah as-sulaamiyaatu yang berarti ruas jari-jemari. Kemudian kata itu dipergunakan untuk seluruh tulang dan ruas badan. Lihat kitab, Syarh Muslim, An-Nawawi V/233

[2]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, di dalam kitab Shalaatut Musaafirin wa Qashruha, bab Istihbaabu Shalaatidh Dhuha wa Anna Aqallaha Rak'aatani wa Akmalaha Tsamaanu Raka'aatin wa Ausathuha Arba'u Raka'aatin au Sittin wal Hatstsu 'alal Muhaafazhati 'alaiha, (hadits no. 720). Lihat juga kitab, Jami'ul Ushuul (IX/436)

[3]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab, Al-Musnad (VI/440 dan 451). Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalaah, bab Maa Jaa-a fii Shalaatidh Dhuha, (hadits no. 475)
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan : 'Hasan gharib" Dan dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi. Juga dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam kitab, Shahih Sunan At-Tirmidzi, (I/147). Serta dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab, Jaami'ul Ushuul (IX/4370.

[4]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (II/228), Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (I/314), dan lafazh di atas milik keduanya. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath (II/279-Majma'ul Bahrain) tanpa ucapan :"Dan ia adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabiin)".
Dan hadits di atas dinilai shahih oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim. Dan dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab, Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (hadits no. 1994).

[5]. Majmuu'al Al-Fataawaa (XXII/284)

[6]. Dan inilah yang tampak, yang ditunjukkan oleh hadits-hadits terdahulu. (Nailul Authaar III/77).
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menetapkan kesepakatan para ulama tas sunnahnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus, kemudian menetapkan hukum sunnatnya, dimana dia mengatakan : "Muncul pertanyaan : 'Apakah yang lebih baik, mengerjakan secara terus menerus ataukah tidak secara terus menerus seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam? Inilah di antara yang mereka pedebatkan". Dan yang lebih tepat adalah dengan mengatakan ;"Barangsiapa mengerjakan qiyaamul lail secara terus menerus, maka tidak perlu lagi baginya untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang tertidur sehingga tidak melakukan qiyamul lail, maka shalat Dhuha bisa menjadi pengganti bagi qiyamul lail" Majmu Al-Fataawaa (XXII/284).

Dapat saya katakan, (tetapi) lahiriyah nash menunjukkan disunnatkannya secara mutlak untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meninggalkan suatu amalan padahal beliau sangat suka untuk mengerjakannya karena beliau takut hal tersebut akan dikerjakan secara terus menerus oleh umat manusia sehingga akan diwajibkan kepada mereka. Dan inilah illat (alasan) tidak dikerjakannya shalat Dhuha secara terus menerus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan demikian, nash-nash itu secara mutlak seperti apa adanya. Hal yang serupa seperti itu telah diisyaratkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha, lihat kitab Jaami'ul Ushuul (VI/108-109).

[7]. Ath-Thibi mengatakan : "Shalat ini disebut shalat Isyraq, yaitu permulaan shalat Dhuha. Dia nukil di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/405)
Dapat saya katakan, telah saya sampaikan kepada anda mengenai hal itu yang lebih luas dari sekedar isyarat ini. Lihat pembahasan tentang shalat Isyraq sebelumnya.

[8] Hadits hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalah, bab Dzikru Maa Yustahabbu minal Julus fil Masjid Ba'da Shalaatish Shubhi Hatta Taathlu'a Asy-Syams
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan :"Hasan gharib". Dengan beberapa syahidnya, hadits ini dinilai hasan oleh Al-Mubarakfuri di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/406). Dan disepakati oleh Syaikh Akhmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi (II/481). Juga dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi (I/182). Dan dengan beberapa syahidnya, dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab Jaami'ul Ushuul (IX/401).
Dapat saya katakan, di antara syahidnya adalah hadist berikutnya.

[9]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu'jamul Kabiir (VIII/174), 181 dan 209)
Sanad hadits di atas dinilai jayyid oleh Al-Mundziri dan Al-Haitsami. Dan dinilai hasa oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wa Tarhiib (I/189). Dan lihat juga kitab, Majmu'uz Zawaa'id (X/104)

[10]. Di dalam kitab, Syarh An-Nawawi (VI/30). Imam Nawawi mengatakan : Ar-Ramdhaa' berarti kerikil yang menjadi panas oleh sinar matahari. Yaitu, ketika anak-anak unta sudah merasa panas. Al-Fushail berarti anak unta yang masih kecil". Lihat juga, Nailul Authaar (II/81)

[11]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafirin wa Qasruha, bab Shalatut Awaabiin Hiina Tarmudhil Fihsaal, hadits no. 748.

[12]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya

[13]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya

[14]. Hadits shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa'il, bab Shalatudh Dhuha, (hadits no. 273) hadits ini dinilai shahih lighairihi di dalam kitab, Mukhtashar Asy-Syamaailil Muhammadiyyah, (hal. 156). Beberapa sahid dan jalannya telah disebutkan di dalam kitab Irwaaul Ghaliil (II/216).

[15]. Di dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang mengaku bahwa
shalat ini adalah shalat al-fath (pembebasan), bukan shalat Dhuha. Lihat kitab, Zaadul Ma'ad (III/4100 dan juga Aunul Ma'buud (I/497)

[16]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam beberapa tempat di antaranya : Kitaabut Tahajjud, bab Shalaatudh Dhuhaa fis Safar (hadits no. 1176). Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Haidh, bab Tasturuk Mughtasil bi Tsaubin au Nahwahu (hadits no. 336). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan lihat juga kitab Jaami'ul Ushuul (VI/110).

[17]. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma'uz Zawaa'id (II/237) dan dia mengatakan : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Kabiir. Di dalamnya terdapat Musa bin Ya'qub Az-Zam'i. Dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu'in dan Ibnu Hibban serta dinilai dha'if oleh Ibnul Madini dan lain-lainnya. Dan sisa rijalnya adalah tsiqah.
Dapat saya katakan, Musa bin Ya'qub seorang yang shaduq, yang mempunyai hafalan buruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab, At-Taqriib (hal. 554). Dan diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (II/334), yang diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam kitab At-Targhiib. Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyalahu 'anhuma dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wat Tarhiib (I/279).

[18]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalatul Musafirin wa Qasruha, bab Istihbaabu Shaalatid Dhuha wa Anna Aqallaha Rak'ataani wa Akmalaha Tsamaanu Rak'atin wa Ausathuha Arba'u Rak'atin au Sittin wa Hatstsu 'alal Muhaafazhati Alaiha, (hadits no. 719).

[19]. Hadits shahih. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya
Peringatan.
Ada sebuah riwayat untuk hadits Ummu Hani terdahulu dengan lafazh : "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam pernah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat'. Dan hadits Ummu Hani asalnya terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain, tetapi tidak dengan lafazh ini.
Dan diriwayatkan oleh Abud Dawud di dalam Kitaabush Shalaah, bab Shalatudh Dhuha (hadits no. 1234, II/234).
Dan dalam sanad yang ada pada keduanya terdapat Iyadh bin Abdillah. Yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Wahb. Mengenai pribadi Iyadh ini. Abu Hatim mengatakan :"Dia bukan seorang yang kuat". Dan Ibnu Hibban menyebutnya di dalam deretan tsiqat. As-Saaji mengatakan : "Darinya, Wahb bin Abdillah meriwayatkan beberapa hadits yang di dalamnya masih mengandung pertimbangan". Yahya bin Ma'in mengatakan :"Dia seorang yang haditsnya dha'if". Abu Shalih mengatakan ;"Ditegaskan, dia memiliki kesibukan yang luar biasa di Madinah, di dalam haditsnya terdapat sesuatu" Al-Bukhari mengatakan : "Haditsnya munkar" Tahdziibut Tahdziib (VIII/201).
Dapat saya katakan, haditsnya di sini diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, darinya. Yang tampak secara lahiriyah dari keadaan orang ini, bahwa dia tidak dimungkinkan untuk meriwayatkan seorang diri, sedangkan lafazh ini dia riwayatkan sendiri. Wallahu a'lam
Dengan lafazh ini, hadits ini dinilai dha'if (lemah) oleh Al-Albani di dalam komentarnya terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah (II/234). Dalam penjelasannya, dia menguraikan secara rinci illatnya di dalam kitab. Tamamul Minnah (hal. 258-259)

sumber :http://www.almanhaj.or.id/content/2357/slash/0

Sabtu, 15 Agustus 2009

Rahasia Shalat Dhuha

Allah SWT dalam beberapa ayat bersumpah dengan waktu dhuha. Dalam pembukaan surat Assyams, Allah berfirman, ''Demi matahari dan demi waktu dhuha.'' Bahkan, ada surat khusus di Alquran dengan nama Addhuha.

Pada pembukaannya, Allah berfirman, ''Demi waktu dhuha.'' Imam Arrazi menerangkan bahwa Allah SWT setiap bersumpah dengan sesuatu, itu menunjukkan hal yang agung dan besar manfaatnya. Bila Allah bersumpah dengan waktu dhuha, berarti waktu dhuha adalah waktu yang sangat penting. Benar, waktu dhuha adalah waktu yang sangat penting. Di antara doa Rasulullah SAW: Allahumma baarik ummatii fii bukuurihaa. Artinya, ''Ya Allah berilah keberkahan kepada umatku di waktu pagi.''

Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang aktif dan bangun di waktu pagi (waktu subuh dan dhuha) untuk beribadah kepada Allah dan mencari nafkah yang halal, ia akan mendapatkan keberkahan. Sebaliknya, mereka yang terlena dalam mimpi-mimpi dan tidak sempat shalat Subuh pada waktunya, ia tidak kebagian keberkahan itu.

Abu Dzar meriwayatkan sebuah hadis. Rasulullah SAW bersabda, ''Bagi tiap-tiap ruas anggota tubuh kalian hendaklah dikeluarkan sedekah baginya setiap pagi. Satu kali membaca tasbih (subhanallah) adalah sedekah, satu kali membaca tahmid (alhamdulillah) adalah sedekah, satu kali membaca takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah, menyuruh berbuat baik adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan, semua itu bisa diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha.'' (HR Muslim).

Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat Dhuha empat rakaat. Dalam riwayat Ummu Hani', ''Kadang Rasulullah SAW melaksanakan shalat Dhuha sampai delapan rakaat.'' (HR Muslim). Imam Attirmidzi dan Imam Atthabrani meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa bila seseorang melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu ia berdiam di tempat shalatnya sampai tiba waktu dhuha, kemudian ia melaksanakan shalat Dhuha, ia akan mendapatkan pahala seperti naik haji dan umrah diterima. Para ulama hadis merekomendasikan hadis ini kedudukannya hasan.

Jelaslah bahwa shalat Dhuha sangat penting bagi orang beriman. Penting bukan karena--seperti yang banyak dipersepsikan--shalat Dhuha ada hubungannya dengan mencari rezeki, melainkan ia penting karena sumpah Allah SWT dalam Alquran. Maka, sungguh bahagia orang-orang beriman yang memulai waktu paginya dengan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu dilanjutkan dengan shalat Dhuha.

Sumber --> http://www.hico.wisatahati.com/modules.php?name=Forums&file=viewtopic&t=1693

Kamis, 21 Mei 2009

Era baru cara berdakwah

Banyak orang memiliki waktu luang, tapi sedikit sekali yang mau melaksanakan shalat dhuha, mudah-mudahan penggemar yuk shalat dhuha pada rajin semua.


"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung." (3:104)

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (3:110)


Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS. 41 : 33)


"...kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. " (QS. 14:24-25)


Yakinlah, ini adalah cara baru dakwah diera baru, trennya kini lagi gandrung dan kecanduan FB. Mengapa kecederungan itu tidak kita arahkan untuk menumbuhkan motivasi beramal. saling mengingatkan dan menasehati. Insya Allah jangkauannya akan lebih luas. Mudah-mudahan kita yang mengajak teman-teman kita akan mendapatkan pahal yang sama seperti teman yang kita sarankan tanpa mengurangi pahala orang tersebut. Ayo ajak teman kita.


Gabung yuk ke shalat malam dan Yuk Shalat Dhuha, kita refresh ruhi kita
Shalat malam:
http://www.facebook.com/pages/Shalat-Malam/94870606281
Yuk Shalat Dhuha:
http://www.facebook.com/pages/Lampung-Utara/Yuk-Shalat-Dhuha/88958971490

Senin, 18 Mei 2009

Agar peluang tak berlalu begitu saja.

Banyak sekali peluang yang bertaburan disekitar kita. Tapi sedikit sekali yang dapat kita manfaatkan. Mengapa hal demikian bisa terjadi.

1. Tidak ada keinginan
Namanya juga gak ada niat, bagaimanapun jika sudah tidak ada keinginan, ya itu rasa malas menggelayuti setiap gerak kita. Seolah-olah ada sesuatu yang menahan, ada semacam tembok baja yang sulit ditembus. Makanya agar peluang tak berlalu begitu saja harus ada keinginan yang mendorong untuk mengetahui peluang tersebut.

2. Informasi tidak utuh?
Peluang sudah ada dihadapan, hanya karena informasinya kurang rinci menjadi berlalu begitu saja. Dalam diri masih ada tersimpan rasa malas untuk menggali informasi lebih mendetail. Rasa ingin tahu dalam diri belum tumbuh. Informasi yang di dapatkan pun setengah-setangah. Ibaratnya masih melihat dari luar rumah belum masuk ke dalam rumah, ya wajar jika kita tidak mengetahui lebih jauh apa isi rumah tersebut. Carilah informasi yang mendalam agar kita mengetahui peluang tersebut secara mendetail sehingga dapat memanfaatkan peluang dan dapat merasakan nilai manfaatnya

3. Hanya sepintas lalu
Membaca sepintas lalu, tidaklah akan mampu mengantarkan kepada informasi yang mendetail. Wajar saja peluang itu berlalu begitu saja.

4. Anti Pati
Kalau sudah anti pati, begitu sepintas melihat maka pandangan akan langsung beralih. Jangan harap informasi itu akan dibaca.

5. Kurang mempercayai
Sudah mempelajari lebih rinci, tapi kurang mempercayai, maka sulit sekali peluang tersebut akan dimanfaatkan

6. Kurang Merespon
Ya sudah lalui begitu saja,


“dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)[1530].” (QS. Al Qiyaamah : 2)

[1530]. Maksudnya: Bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan.

Banyak sekali peluang-peluang amal yang kita sia-siakan dan kita nanti akan menyesal, mengapa peluang itu berlalu begitu saja.


Minggu, 10 Mei 2009

Apa yang menggerakkan kita

Berapa banyak orang yang menjadi tergerak dan terdorong melakukan sesuatu karena adanya kata-kata yang tersusun dalam kalimat yang baik. Saya ucapkan terima kasih kepada semua yang tergabung di sini. Mudah-mudahan ini menjadi media kita untuk saling mengingatkan, menguatkan, saling mendoakan. Kalaulah orang lain berhimpun dalam suatu kemaksiatan yang banyak penggemarnya. Mengapa kita yang ingin senantiasa terus berusaha memperbaiki diri tidak berhimpun dalam suatu komunitas juga.

Mudah-mudahan di sini kita bukan sekadar kumpul. Bukan sekadar mengungkapkan kata, tapi bagaimana kata-kata itu memiliki makna yang mendalam.Kata-kata yang mampu menimbulkan daya gugah dan daya gerak yang luar biasa.

Betapa lemahnya diri ini dalam pengabdian kepada Rabb semesta alam yang telah menjadikan kita dapat melihat indahnya dunia. Dia telah memberikan kita pendengaran yang kita mampu menikmati merduanya suara. Memberikan Kedua Kaki yang kita gunakan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Memberikan kita tangan. Memberikan jari jemari yang bisa kita fungsikan untuk berbagai hal.

Lalu mengapakah kita terkadang lupa dengan semuanya. Lalu mengapakah kita jadi ingat ketika musibah itu datang. Apakah harus disadarkan lewatkan musibah. Kita adalah sesuatu yang unik. Kita punya sifat lupa dan perlu ada yang mengingatkan. Kita memiliki kemampuan terbatas, sehingga perlu ada yang lain untuk saling melengkapi.

Sengaja halaman ini dibuat agar memotivasi diri ini untuk bisa melaksanakan shalat dhuha. Saya sadar bahwa diri ini bukanlah orang yang senantiasa rutin tanpa putus melaksanakan shalat dhuha. Kita memiliki saat-saat yang memang kita tak sempat sama sekali untuk bisa melaksanakannya. Tapi adakah alasan bagi kita untuk tidak melaksanakannya hanya karena ini ibadah sunnah yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila tidak, tidak mendapat dosa.

Ternyata amalan sunnah bukan hanya Shalat Dhuha. Masih banyak amalan-amalan sunnah lain yang bisa kita lakukan untuk mengumpulkan investasi yang sangat menguntungkan. Setiap kita mudah-mudahan akan senantiasa tergerak untuk berbuat amal shaleh. Saling tolong menolong, saling mendoakan, saling menguatkan. Saling memotivasi. Ayo kita berlomba-lomba dalam kebaikan.

Ya Allah….
janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.

Minggu, 03 Mei 2009

Do'a Sesudah Shalat Dhuha

Jangan lupa sesudah melaksanakan shalat dhuha kita panjatkan do'a, adapun do'a yang kita panjatkan bisa kita rangkai dengan kata-kata kita sendiri atau dengan doa berikut :

"Ya Allah, bahwasanya waktu Dhuha itu adalah waktu Dhuha-Mu, kecantikan ialah kecantikan-Mu, keindahan itu keindahan-Mu, dan perlindungan itu, perlindungan-Mu".

"Ya Allah, jika rezekiku masih di atas langit, turunkanlah dan jika ada di dalam bumi , keluarkanlah, jika sukar mudahkanlah, jika haram sucikanlah, jika masih jauh dekatkanlah, berkat waktu Dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hamba-Mu yang shaleh".

Selasa, 28 April 2009

Ingin Punya Rumah atau Ingin Istana di Surga

Kapan punya rumah sendiri? Aku bingung mau menjawabnya. Soalnya meskipun rumah yang ditempati sudah dipasrahkan untukku, tapi ini bukan dari hasilku, melainkan merupakan warisan orang tua.

Terkadang pertanyaan itu sering muncul. Sudah lama loh berumah tangga. Kapan Abi mau buat rumah untukku?

Aku katakan, "Bukan hanya rumah yang dibuat, tapi Abi membangunkan Istana untuk kita."

Meskipun belum nyata, tapi kita harus punya keyakinan bahwa istana itu sudah ada di dunia ini. Rasulullah menegaskan tentang rumah tangga beliau dengan mengatakan, "Baiti Jannati" Rumahku adalah syurgaku. Suatu pernyataan yang menggambarkan tentang bahagianya rumah tangga Rasulullah. Kitapun bisa mewujudkannya, ketika kita mampu mengaplikasikan ajaran Islam dalam setiap sisi-sisi kehidupan.

Keinginan mempunyai rumah sendiri haruslah kuat, berbagai usaha yang halal sangat penting sekali untuk bisa mewujudkannya. Selain itu juga, kita bukan hanya mengingin rumah di dunia ini saja. Sebagai seorang muslim, kita harus memiliki visi yang jauh ke depan, mampu menembus batas. Kebahagiaan yang kita raih jangan sampai berakhir di dunia ini saja. Bagiamana kita juga berfikir agar akhirat kelak kitapun bisa bahagia.

Di dunia ini kita ingin memiliki rumah. Di akhirat lebih dari sekadar memiliki rumah, Allah akan membangun Istana di syurga bagi hamba-Nya yang mau. Trus bagaimana agar kita dapat dbangunkan istana di syurga? Berikut mudah-mudahan sangat bermanfaat:

1. Melaksanakan Shalat Sunnah Rawatib 12 Raka’at dalam sehari

Dari Ummu Habibah ra, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba muslim melaksanakan Shalat sunnah (bukan fardhu) karena Allah, sebanyak dua belas rakaat setiap harinya, kecuali Allah akan membangunkan sebuah rumah untuknya di Surga’.” (HR Muslim).

Salah satu keutamaan shalat sunnah rawatib yang diriwayatkan oleh Muslim di atas, yakni dengan shalat sunnah rawatib sebanyak 12 raka’at adalah dibangunkannya rumah oleh ALLAH di surga.

12 raka`at itu terdiri dari 4 raka`at sebelum shalat Zhuhur, 2 raka`at setelahnya, dan 2 raka`at setelah shalat Magrib dan 2 raka`at setelah shalat Isya, serta 2 raka`at sebelum shalat Shubuh sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.

2. Saling mendahului dalam mengucapkan Salam

Pernah sahabat Rasulullah, Umar bin Khatab mengadukan Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah. "Ya, Rasulullah, Ali bin Abi Thalib tidak pernah memulai mengucapkan salam kepadaku..." Rasulullah lalu menanyakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib membenarkan pengaduan Umar bin Khatab itu. "Ya, Rasulullah, itu kulakukan karena aku ingin supaya Umar bisa mendapatkan istana di Surga! Seperti yang disabdakan olehmu, ya Rasulullah. Bahwa siapa yang mendahului saudaranya mengucapkan salam, Allah akan mendirikan istana baginya di Surga."

Bayangkan dengan memberi salam kita bisa membangun istana di Surga. Dengan salam, hati-hati kita terikat untuk saling mencintai. Kenapa kita tidak bersegera menebar salam kepada sahabat, handai taulan, keluarga dan saudara-saudara kita seiman? Sabda Rasulullah, "Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman hingga saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian." (HR Muslim)

3. Membangun Masjid

Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membangun masjid dengan hartanya maka Allah akan membangunkan sebuah rumah untuknya di surga. ” (HR Ibnu Majah)

Dalam sebuah perjalanan biasanya ada sebagian kaum muslimin yang membangun masjid dengan meminta sumbangan dengan cara meminta kepada para pengguna jalan, jangan sungkan-sungkan untuk menyisihkan beberapa rupiah untuk kita infaqkan untuk pembangunan masjid tersebut.

Terkadang kita terlalu banyak berfikir dengan hitung-hitungan matematis, harta yang kita infaqkan berarti akan mengurangi harta kita, dengan demikian kita akan mengalami kerugian dengan berkurangnya harta kita. Padahal sesungguhnya bila yang kita pakai adalah perhitungan keimanan, maka hasilnya akan menjadi lain. Harta sesungguhnya yang kita miliki adalah harta yang kita infaqkan, sedangkan yang ada pada kita belum tentu menjadi milik kita. Bisa jadi ada yang mencuri, merampok, terjadi bencana alam atau kejadian apapun yang menyebabkan harta itu berpindah dari tangan kita

Firman Allah swt: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:261)

Dengan menyisihkan sebagian harta yang kita miliki untuk pembangunan masjid berarti telah membuktikan diri kita seorang mu’min. Karena dengan demikian kita termasuk orang-orang yang memakmurkan masjid. Dan sebagai gantinya, Allah akan mempersiapkan rumah buat kita di surga nanti.

Firman Allah swt: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 9:18)