Senin, 30 November 2009

Bolehkah shalat dhuha berjamaah?

shalat dhuha

Soal:

assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
ustadz bagaimana kualitas hadits ini ustad

Dalam kitab Fathul Bari (Syarah Shahih Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dinukilkan hadis ‘Itban bin Malik RA tersebut, bahwa Rasulullah SAW telah melakukan sholat Dhuha (subhata adh-dhuha) di rumahnya [rumah 'Itban bin Malik], lalu orang-orang berdiri di belakang beliau dan mereka pun sholat dengan sholat beliau. (fa-qaamuu waraa`ahu fa-shalluu bi-shalaatihi). (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 4/177).

bisa sebagai hujah untuk sholat dhuha berjamaah tidak ustadz?

mohon penjelasannya ustadz
agar saya tida menjadi ahlul bid'ah
terimakasih
wasalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh

xxxx
Alamat: xxxx, surakarta
Email: hi_xxxx@yahoo.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spambot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya (nama, alamat lengkap dan email kami sembunyikan)

Jawab:

Riwayat ‘Itban bin Malik tersebut memang betul terdapat dalam Fathul Baari sebagai berikut.

مَا رَوَاهُ أَحْمَد مِنْ طَرِيق اَلزُّهْرِيّ عَنْ مَحْمُود بْن اَلرَّبِيع عَنْ عِتْبَان بْن مَالِك " أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي بَيْتِهِ سُبْحَة اَلضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ "

Ada riwayat dari Imam Ahmad dari jalur Az Zuhriy, dari Mahmud bin Ar Robi’, dari ‘Itban bin Malik, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahnya, lalu para sahabat berada di belakang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengikuti shalat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan.[1]

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya. Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini dikeluarkan pula oleh Muslim dari riwayat Ibnu Wahb dari Yunus dalam hadits yang cukup panjang, tanpa menyebut “shalat Dhuha”.[2] Al Haitsami mengatakan bahwa para perowinya adalah perowi yang shahih.[3] Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sebagaimana syarat Bukhari-Muslim.[4]

Namun apakah hadits ini bisa sebagai dalil untuk melaksanakan shalat Dhuha rutin secara berjama’ah?

Alangkah bagusnya jika kita memahami bagaimana hukum melaksanakan shalat sunnah secara berjama’ah.

Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik[5]; beliau pun pernah melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas.[6]

Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau rahimahullah mengatakan,

وَفِيهِ مَشْرُوعِيَّة الْجَمَاعَة فِي النَّافِلَة

“Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.”[7]

An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan,

جَوَاز النَّافِلَة جَمَاعَة ، وَلَكِنَّ الِاخْتِيَار فِيهَا الِانْفِرَاد إِلَّا فِي نَوَافِل مَخْصُوصَة وَهِيَ : الْعِيد وَالْكُسُوف وَالِاسْتِسْقَاء وَكَذَا التَّرَاوِيح عِنْد الْجُمْهُور

“Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”[8]

Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengenai hukum mengerjakan shalat nafilah (shalat sunnah) dengan berjama’ah. Syaikh rahimahullah menjawab,

إذا كان الإنسان يريد أن يجعل النوافل دائماً في جماعة كلما تطوع، فهذا غير مشروع، وأما صلاتها أحياناً في جماعة فإنه لا بأس به لورود ذلك عن النبي صلى الله عليه وسلم كما في صلاة ابن عباس معه في صلاة الليل(2)، وكما صلى معه أنس بن مالك رضي الله عنه واليتيم في بيت أم سليم وما أشبه ذلك(3).

“Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas[9]. Sebagaimana pula beliau pernah melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah Ummu Sulaim[10], dan masih ada contoh lain semisal itu.”[11]

Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau mengatakan,

وَأَنَّ مَحَلّ الْفَضْل الْوَارِد فِي صَلَاة النَّافِلَة مُنْفَرِدًا حَيْثُ لَا يَكُون هُنَاكَ مَصْلَحَة كَالتَّعْلِيمِ ، بَلْ يُمْكِنُ أَنْ يُقَال هُوَ إِذْ ذَاكَ أَفْضَل وَلَا سِيَّمَا فِي حَقّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

“Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”

Kesimpulan:

1. Shalat sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri) dan lebih utama lagi dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ

Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731)

2. Terdapat shalat sunnah tertentu yang disyari’atkan secara berjama’ah seperti shalat tarawih.

3. Shalat sunnah selain itu –seperti shalat Dhuha dan shalat tahajud- lebih utama dilakukan secara munfarid dan boleh dilakukan secara berjama’ah namun tidak rutin atau tidak terus menerus, akan tetapi kadang-kadang.

4. Jika memang ada maslahat untuk melakukan shalat sunnah secara berjama’ah seperti untuk mengajarkan orang lain, maka lebih utama dilakukan secara berjama’ah.

Wallahu a’lam bish showab.

Muhammad Abduh Tuasikal

Panggang, Gunung Kidul, 20 Ramadhan 1430 H

http://rumaysho.com


[1] Fathul Baari, 4/177, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[2] Idem

[3] Majma’ Az Zawa-id, 2/278, Darul Fikr, Beirut, cetakan 1412 H

[4] Lihat Ta’liq Syaikh Syu’aib Al Arnauth terhadap Musnad Imam Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo

[5] Sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh penanya.

[6] Al Maqsu’ah Al Fiqhiyyah, Bab Shalat Jama’ah, point 8, 2/9677, Multaqo Ahlul Hadits, Asy Syamilah.

[7] Fathul Baari, 3/421

[8] Syarh Muslim, 3/105, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

[9] Hadits muttafaq ‘alaih.

[10] Hadits muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Ash Sholah, Bab Ash Sholah ‘alal Hashir (380) dan Muslim dalam Al Masaajid, Bab Bolehnya shalat sunnah secara berjama’ah 266 (658)

[11] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/231, Asy Syamilah

Sumber : http://rumaysho.com


Dr. Ayman Khalil: Shalat Dhuha Berjamaah Tidak Diperbolehkan


Menurut Ayman, hukum mendirikan shalat dhuha secara berjamaah dalam jumlah massal tidak diperkenankan secara fikih

Hidayatullah.com--Salah satu da'i dan tokoh Islam terkemuka Mesir, Dr. Ayman Khalil, menyatakan bahwa hukum mendirikan shalat dhuha secara berjamaah dalam jumlah massal tidak diperkenankan secara hukum fikih.

Menguatkan pendapatnya, Khalil menyatakan, tidak ada satu pun dari ahli fikih, baik klasik atau pun kontemporer, yang menegaskan bolehnya melaksanakan shalat sunnah pagi hari secara berjamaah di tempat umum.

"Tidak ada dalil agama yang memperbolehkannya. Sayyidah Aisyah sendiri pernah berkata, ia tidak pernah melihat Nabi Muhammad melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah," tutur Khalil dalam acara televisi bertajuk Fatawa ar-Rahmah, yang ditayangkan oleh stasiun televisi ar-Rahmah Mesir Selasa (14/7).

Dalam salah satu kaidah usul fikih (madzhab Hanafi), dikatakan bahwa asal segala hukum adalah tidak boleh, sehingga ada dalil yang memperbolehkannya (al-ashlu fi al-asyya at-tahrim, hatta yadullu alaihi ad-dalil bi jawazihi).

Khalil menegaskan, dalil-dalil syara' yang ada dan berkaitan dengan shalat dhuha adalah dilaksanakannya ibadah sunnah itu secara furada (sendiri), dan buka dalam jamaah.

Khalil mengisahkan hadits Ibnu Mas'ud, bahwa suatu hari ia melihat sekelompok orang tengah melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah di sebuah masjid. Ibnu Mas'ud kemudian membubarkan mereka dengan memukulkan tongkat. Sebagian ahli ilmu menganggap, Ibnu Mas'ud melarang shalat dhuha dan menganggapnya tidak disunatkan. Tetapi, ternyata, Ibnu Mas'ud hanya mencegah orang-orang agar tidak melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah.

Meski demikian, tambah Khalil, ada beberapa shalat sunnah yang boleh didirikan secara berjamaah, bahkan di-mustahab-kan (dianjurkan), semisal shalat id, kusuf, khusuf, istisqa, shalat malam, tarawih, dan lain-lain. [atj/rmh/www.hidayatullah.com]

sumber : http://www.hidayatullah.com/

0 komentar: