Selasa, 08 September 2009

Mencari Mardlatillah


Cetak E-mail
Ditulis oleh Ustadz Ma'luful Anam, Lc

Jarang orang merumuskan tujuan hidupnya. Merumuskan apa yang dicari dalam hidupnya, apakah hidup­nya untuk makan atau makan untuk hidup. Banyak orang sekedar menjalani hidupnya, mengikuti arus kehidupan, terkadang berani melawan arus, dan menyesuaikan diri, tetapi apa yang dicari dalam melawan arus, menyesuaikan diri dengan arus atau dalam pasrah total kepada arus, tidak pernah dirumuskan secara serius. Ada orang yang sepanjang hidupnya bekerja keras mengumpulkan uang, tetapi untuk apa uang itu dan mau ditasrufkan kemana baru dipikirkan setelah uang terkumpul, bukan dirumuskan ketika memutuskan untuk mengumpulkannya. Ada yang ketika mengeluarkan uang tidak sempat merumuskan tujuannya, sehingga hartanya terhambur-hambur tanpa arti. Ini adalah model orang yang hidup tidak punya konsep hidup.

Makna tentang tujuan hidup sampai kapan pun masih tetap penting untuk direnungkan. Bagaimanapun seorang Muslim mesti sadar bahwa hidup di dunia ini bersifat sementara tidak kekal bahkan terlampau singkat. Kita cuma diberikan kesempatan yang sangat sebentar, bagaikan seorang musafir yang berhenti di sebuah oase, setelah istirahat sebentar dia mempersiapkan perbekalan lalu melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir.

Rumusan tujuan hidup yang didasari pada nilai ajaran agama menempati posisi sentral, yakni orang yang hormat dan tunduk kepada nilai-nilai agama yang diyakininya, melalui pemahaman yang benar dan matang terhadap ajaran agama, Menurut ajaran Islam, tujuan hidup manusia ialah untuk menggapai ridha Allah, ibtigha mardhatillah. Allah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 207 ومن الناس من يشرى نفسه ابتغاء مرضاة الله والله رؤوف بالعباد, yang arti­nya : “Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”

Ridha artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan hidup seorang Muslim, terpulang kepada apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau diridhai Allah SWT atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridha-Nya, maka apapun yang diberikan Allah kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridha (senang) pula, ridha dan diridhai (radhiyatan mardhiyah)

Kita bisa mengetahui sesuatu itu diridhai atau tidak oleh Allah. Tolok ukur pertama adalah syariat atau aturan yang ditetapkan agama, sesuatu yang diharamkan atau dilarang oleh Allah pasti tidak diridhai dan bila kita melakukannya atu melanggarnya kita akan mendapat dosa; dan sesuatu yang halal atau diperintahkan agama pasti diridhai yang apabila kita mengerjakannya kita akan mendapat pahala. Selanjutnya nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya memberi kepada orang yang meminta karena kebutuhan adalah sesuatu yang diridhai-Nya; tidak memberi tidak berdosa tetapi kurang disukai.

Indikator ridha Allah juga dapat dilihat dari dimensi horizontal, Nabi bersabda : “Bahwa ridha Allah ada bersama ridha kedua orang tua, dan murka Allah ada bersama murka kedua orang tua”. Semangat untuk mencari ridha Allah sudah barang tentu hanya dimiliki orang-orang yang beriman, sedangkan bagi mereka yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya dan prilakunya sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang yang minus beragama, karena toh setiap manusia memiliki akal yang bisa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.

Metode untuk mengetahui ridla Allah SWT juga diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dengan cara bertanya kepada hati sendiri, istafti qalbaka. Orang bisa berdusta, berbohong dan mengelabui orang lain, tetapi ia tidak dapat melakukannya kepada hati sendiri. Hanya saja hati orang berbeda-beda. Hati yang gelap, hati yang kosong, dan hati yang mati, sulit dan bahkan tidak bisa ditanya. Hati juga kadang-kadang tidak konsisten, oleh karena pertanyaan paling tepat kepada hati nurani, Nurani berasal arti kata nur, cahaya. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung dengan ridha Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme, dan kemaksiatan.

Menurut ajaran Islam, tugas hidup manusia, sepanjang hidupnya hanya satu tugas, yaitu menyembah Allah, Sang Pencipta, atau dalam bahasa harian disebut ibadah. Allah berfirman dalam kitab suci al Qur'an yang berbunyi "وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون yang artinya "tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku". Menjalankan ibadah bukanlah tujuan hidup, tetapi merupakan tugas yang harus dikerjakan oleh mahluk Allah sepanjang hidupnya. Ibadah mengandung arti untuk menyadari dirinya kecil tak berarti, meyakini kekuasaan Allah Yang Maha Besar, Sang Pencipta, dan disiplin dalam kepatuhan kepada-Nya. Oleh karena itu orang yang menjalankan ibadah mestilah bersikap rendah hati, tidak sombong, menghilangkan egoisme dan Istiqomah untuk terus berupaya agar selalu dalam ridla dan bimbingan-Nya. Itulah etos ibadah. Ibadah ada yang bersifat mahdhah/murni, yakni ibadah yang hanya memiliki satu dimensi, yaitu dimensi vertikal, patuh tunduk kepada Allah Yang Maha Kuasa, seperti shalat dan puasa. Ibadah juga terbagi menjadi dua klasifikasi; ibadah khusus dan ibadah umum. Ibadah khusus adalah ritual yang bersifat baku yang ketentuannya langsung dari wahyu atau dari Nabi Muhammad SAW, sedangkan ibadah umum adalah semua perbuatan yang baik, dikerjakan dengan niat baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula.

Ibadah khusus seperti shalat lima waktu sehari semalam adalah tugas, taklif dari Allah SWT yang secara khusus diperuntukkan kepada orang-orang mukmin yang telah baligh. Puasa, Zakat (zakat fitrah, zakat mal) bagi yang telah memenuhi syaratnya, dan ibadah haji bagi yang mampu, memotong hewan kurban bagi yang mampu semuanya adalah taklif.

Dan ibadah ghairu mahdhah, seperti berbisnis, karena inti dari berbisnis adalah membantu mendekatkan orang lain dari kebutuhannya. Menuntut ilmu adalah ibadah yang sangat besar nilainya asal dilakukan dengan niat baik dan cara yang baik pula. Dengan demikian kita dapat melakukan tugas ibadah dalam semua aspek kehidupan kita, sesuai dengan bakat, minat, dan profesi kita. Perbedaan pandangan hidup akan menghasilkan perbedaan nilai dan persepsi. Orang yang tidak mengenal ibadah, mungkin sangat sibuk dan lelah mengerjakan tugas sehari-hari, tetapi nilainya nol secara vertikal, sementara orang yang mengenal ibadah, mungkin sama kesibukannya, tetapi cara pandangnya berbeda dan berbeda pula dalam mensikapi kesibukan, maka secara psikologis/kejiwaan ia tidak merasa lelah karena merasa sedang beribadah.

Manusia memiliki dua peran utama di dunia ini; pertama sebagai hamba Allah, dan peran kedua sebagai khalifah (Wakil) Allah di muka bumi. Sebagai hamba Allah manusia adalah kecil dan tidak memiliki kekuasaan, oleh karena itu tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya.

Namun, sebagai khalifah, manusia diberi fungsi, peran yang sangat besar, karena Allah Yang Maha Besar maka manusia sebagai wakil Allah di muka bumi memiliki tanggungjawab dan otoritas yang sangat besar. Sebagai khalifah manusia diberi tugas untuk mengelola alam semesta ini untuk kesejahteraan manusia Oleh karenanya manusia dituntut beramal shaleh, menghindari dosa, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat mungkar, jujur dan menghiasi diri dengan sikap yang dianjurkan oleh agama.

Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/buletin-jumat/1161-mencari-mardlatillah

0 komentar: