Selasa, 08 September 2009

Mencari Mardlatillah


Cetak E-mail
Ditulis oleh Ustadz Ma'luful Anam, Lc

Jarang orang merumuskan tujuan hidupnya. Merumuskan apa yang dicari dalam hidupnya, apakah hidup­nya untuk makan atau makan untuk hidup. Banyak orang sekedar menjalani hidupnya, mengikuti arus kehidupan, terkadang berani melawan arus, dan menyesuaikan diri, tetapi apa yang dicari dalam melawan arus, menyesuaikan diri dengan arus atau dalam pasrah total kepada arus, tidak pernah dirumuskan secara serius. Ada orang yang sepanjang hidupnya bekerja keras mengumpulkan uang, tetapi untuk apa uang itu dan mau ditasrufkan kemana baru dipikirkan setelah uang terkumpul, bukan dirumuskan ketika memutuskan untuk mengumpulkannya. Ada yang ketika mengeluarkan uang tidak sempat merumuskan tujuannya, sehingga hartanya terhambur-hambur tanpa arti. Ini adalah model orang yang hidup tidak punya konsep hidup.

Makna tentang tujuan hidup sampai kapan pun masih tetap penting untuk direnungkan. Bagaimanapun seorang Muslim mesti sadar bahwa hidup di dunia ini bersifat sementara tidak kekal bahkan terlampau singkat. Kita cuma diberikan kesempatan yang sangat sebentar, bagaikan seorang musafir yang berhenti di sebuah oase, setelah istirahat sebentar dia mempersiapkan perbekalan lalu melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir.

Rumusan tujuan hidup yang didasari pada nilai ajaran agama menempati posisi sentral, yakni orang yang hormat dan tunduk kepada nilai-nilai agama yang diyakininya, melalui pemahaman yang benar dan matang terhadap ajaran agama, Menurut ajaran Islam, tujuan hidup manusia ialah untuk menggapai ridha Allah, ibtigha mardhatillah. Allah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 207 ومن الناس من يشرى نفسه ابتغاء مرضاة الله والله رؤوف بالعباد, yang arti­nya : “Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”

Ridha artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan hidup seorang Muslim, terpulang kepada apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau diridhai Allah SWT atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridha-Nya, maka apapun yang diberikan Allah kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridha (senang) pula, ridha dan diridhai (radhiyatan mardhiyah)

Kita bisa mengetahui sesuatu itu diridhai atau tidak oleh Allah. Tolok ukur pertama adalah syariat atau aturan yang ditetapkan agama, sesuatu yang diharamkan atau dilarang oleh Allah pasti tidak diridhai dan bila kita melakukannya atu melanggarnya kita akan mendapat dosa; dan sesuatu yang halal atau diperintahkan agama pasti diridhai yang apabila kita mengerjakannya kita akan mendapat pahala. Selanjutnya nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya memberi kepada orang yang meminta karena kebutuhan adalah sesuatu yang diridhai-Nya; tidak memberi tidak berdosa tetapi kurang disukai.

Indikator ridha Allah juga dapat dilihat dari dimensi horizontal, Nabi bersabda : “Bahwa ridha Allah ada bersama ridha kedua orang tua, dan murka Allah ada bersama murka kedua orang tua”. Semangat untuk mencari ridha Allah sudah barang tentu hanya dimiliki orang-orang yang beriman, sedangkan bagi mereka yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya dan prilakunya sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang yang minus beragama, karena toh setiap manusia memiliki akal yang bisa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.

Metode untuk mengetahui ridla Allah SWT juga diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dengan cara bertanya kepada hati sendiri, istafti qalbaka. Orang bisa berdusta, berbohong dan mengelabui orang lain, tetapi ia tidak dapat melakukannya kepada hati sendiri. Hanya saja hati orang berbeda-beda. Hati yang gelap, hati yang kosong, dan hati yang mati, sulit dan bahkan tidak bisa ditanya. Hati juga kadang-kadang tidak konsisten, oleh karena pertanyaan paling tepat kepada hati nurani, Nurani berasal arti kata nur, cahaya. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung dengan ridha Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme, dan kemaksiatan.

Menurut ajaran Islam, tugas hidup manusia, sepanjang hidupnya hanya satu tugas, yaitu menyembah Allah, Sang Pencipta, atau dalam bahasa harian disebut ibadah. Allah berfirman dalam kitab suci al Qur'an yang berbunyi "وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون yang artinya "tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku". Menjalankan ibadah bukanlah tujuan hidup, tetapi merupakan tugas yang harus dikerjakan oleh mahluk Allah sepanjang hidupnya. Ibadah mengandung arti untuk menyadari dirinya kecil tak berarti, meyakini kekuasaan Allah Yang Maha Besar, Sang Pencipta, dan disiplin dalam kepatuhan kepada-Nya. Oleh karena itu orang yang menjalankan ibadah mestilah bersikap rendah hati, tidak sombong, menghilangkan egoisme dan Istiqomah untuk terus berupaya agar selalu dalam ridla dan bimbingan-Nya. Itulah etos ibadah. Ibadah ada yang bersifat mahdhah/murni, yakni ibadah yang hanya memiliki satu dimensi, yaitu dimensi vertikal, patuh tunduk kepada Allah Yang Maha Kuasa, seperti shalat dan puasa. Ibadah juga terbagi menjadi dua klasifikasi; ibadah khusus dan ibadah umum. Ibadah khusus adalah ritual yang bersifat baku yang ketentuannya langsung dari wahyu atau dari Nabi Muhammad SAW, sedangkan ibadah umum adalah semua perbuatan yang baik, dikerjakan dengan niat baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula.

Ibadah khusus seperti shalat lima waktu sehari semalam adalah tugas, taklif dari Allah SWT yang secara khusus diperuntukkan kepada orang-orang mukmin yang telah baligh. Puasa, Zakat (zakat fitrah, zakat mal) bagi yang telah memenuhi syaratnya, dan ibadah haji bagi yang mampu, memotong hewan kurban bagi yang mampu semuanya adalah taklif.

Dan ibadah ghairu mahdhah, seperti berbisnis, karena inti dari berbisnis adalah membantu mendekatkan orang lain dari kebutuhannya. Menuntut ilmu adalah ibadah yang sangat besar nilainya asal dilakukan dengan niat baik dan cara yang baik pula. Dengan demikian kita dapat melakukan tugas ibadah dalam semua aspek kehidupan kita, sesuai dengan bakat, minat, dan profesi kita. Perbedaan pandangan hidup akan menghasilkan perbedaan nilai dan persepsi. Orang yang tidak mengenal ibadah, mungkin sangat sibuk dan lelah mengerjakan tugas sehari-hari, tetapi nilainya nol secara vertikal, sementara orang yang mengenal ibadah, mungkin sama kesibukannya, tetapi cara pandangnya berbeda dan berbeda pula dalam mensikapi kesibukan, maka secara psikologis/kejiwaan ia tidak merasa lelah karena merasa sedang beribadah.

Manusia memiliki dua peran utama di dunia ini; pertama sebagai hamba Allah, dan peran kedua sebagai khalifah (Wakil) Allah di muka bumi. Sebagai hamba Allah manusia adalah kecil dan tidak memiliki kekuasaan, oleh karena itu tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya.

Namun, sebagai khalifah, manusia diberi fungsi, peran yang sangat besar, karena Allah Yang Maha Besar maka manusia sebagai wakil Allah di muka bumi memiliki tanggungjawab dan otoritas yang sangat besar. Sebagai khalifah manusia diberi tugas untuk mengelola alam semesta ini untuk kesejahteraan manusia Oleh karenanya manusia dituntut beramal shaleh, menghindari dosa, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat mungkar, jujur dan menghiasi diri dengan sikap yang dianjurkan oleh agama.

Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/buletin-jumat/1161-mencari-mardlatillah

Senin, 07 September 2009

Doa yang diucapkan setelah selesai wudhu,



أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ. سُبْحَانَكَ اَللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأتُوْبُ إِلَيْكَ.

"Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya. Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menyucikan diri. Mahasuci Engkau ya Allah, aku memujiMu. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau, aku minta ampun dan bertaubat kepadaMu."

Kami meriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhuma berkata, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ تَوَضَّأَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ، يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ.

'Barangsiapa yang berwudhu lalu mengucapkan, 'Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan RasulNya', dibukakan untuknya pintu-pintu surga yang delapan, dan dia dapat masuk dari pintu manapun yang diinginkannya'." Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya. ((2 - Thaharah, 6 - Dzikir yang dianjurkan setelah wudhu, 1/209/234).Kitab ath-Thaharah, Bab adz-Dzikr al-Mustahab Aqiba al-Wudhu', 1/209, no. 234, pent.)

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan tambahan,


اَللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.

"Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menyucikan diri."

(Tidak mengapa): Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharah, Bab Ma Yuqalu Inda al-Wudhu', 1/77, no. 55. (1 - Thaharah, 41 - Apa yang diucapkan setelah wudhu, 1/77/55). Ja'far bin Muhammad menyampaikan kepada kami, Zaid bin Hubab menyampaikan kepada kami, dari Muawiyah bin Shalih, dari Rabi'ah bin Yazid ad- Dimaisyqi, dari Abu Idris al-Khaulani dan Abu Usman, dari Umar dengan hadits tersebut.
Al-Asqalani di dalam Amal al-Adzkar (2/19-Futuhat) berkata, "Tambahan yang ada di dalam at-Tirmidzi ini tidak shahihshahih dalam hadits ini, karena Ja'far bin Muhammad meriwayatkannya sendirian dan dia tidak menghafal sanad dengan baik... Kesepakatan semua rawi adalah lebih baik daripada satu orang." Kemudian aku menemukan syahidsyahid yang lemah untuknya di dalam riwayat at-Thabraniath-Thabrani di al-Ausathdalam al-Mu'jam al-Ausath (no. 4892), Ibn as-Sunni (no. 32), al-Ashbahani di dalam at-Targhib (no. 2041) dari hadits Tsauban. Juga syahidsyahid lain dari hadits al-Barra di al-Mustaghfiri di dalam ad-Da'awat (2/16 -Futuhat) dengan sanad yang sangat lemah sekali. Lalu syahidsyahid ketiga dari perbuatan Ali di Ibnu Abi Syaibah (no. 20) dengan sanad dhaif. Kesimpulannya dari syahidsyahid-syahidsyahid ini yang terbaik adalah yang pertama, maka mudah-mudahan tambahan ini menjadi kuat sehingga ia mencapai derajat hasanhasan karenanya. Al-Asqalani, Ahmad Syakir dan al-Albani cenderung kepadanya.

An-Nasa`i dalam al-Yaum wal Lailah dan lainnya meriwayatkan,


سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ...

"Mahasuci Engkau ya Allah dan aku memujiMu... sampai akhir.

Takhrij Hadits: Shahih:, Diriwayatkan oleh an-Nasa'ian-Nasa`i di dalam al-Yaum wal Lailahal-Yaum wa al-Lailah (no. 81), at-Thabraniath-Thabrani di al-Ausathdalam al-Mu'jam al-Ausath no. (1478) dan ad-Du'a' (no. 388-390), Ibn as-Sunni (no. 30), al-Hakim (1/564), al-Ashbahani no. (2042:) dari jalan Abu Hasyim (dari Abu Majlaz), dari Qais bin Abbad, dari Abu SaidSa'id dengan hadits tersebut.
An-Nasa'iAn-Nasa`i berkata, "Ini adalah kekeliruan dan yang benar adalah mauqufmauquf." Ia didhaifkan oleh an-Nawawi. Al-Asqalani mengkritik an-Nasa'ian-Nasa`i dan an-Nawawi di dalam Amal al-Adzkar (2/21-Futuhat) dengan mengatakan, "Sanad ini shahihshahih tanpa keraguan. Yang diperselisihkan adalah apakah ia marfumarfu atau mauqufmauquf. An-Nasa'iAn-Nasa`i sendiri berjalan di atas caranya metodenya sendiri yaitu mentarjih dengan berpegang kepada yang lebih banyak dan lebih akurat hafalannya. Oleh karena itu dia memvonis salah, riwayat marfumarfu'. Adapun yang dipilih oleh Syaikh sendiri (yakni an-Nawawi) mengikuti Ibnu Shalah dan lain-lainnya maka riwayat yang marfumarfu lebih didahulukan, karena rawi yang meriwayatkan dengan marfumarfu' memiliki tambahan ilmu. Kalaupun mengikuti cara yang pertama yaitu cara an-Nasa'ian-Nasa`i, maka perkara ini termasuk perkara yang tidak membuka peluang bagi akal, maka ia berhak mengambil marfumarfu." Al-Albani menyetujuinya. Al-Hakim berkata, "Di atas syaratBerdasarkan syarat Muslim." Dan disetujui oleh adz-Dzahabi, tetapi al-Albani mengkritik keduanya dan mengatakan, "Justru ia di atas syaratberdasarkan syarat asy-Syaikhain."
 Catatan: Perhatikanlah bahwa tambahan ini adalah hadits baru lain (tersendiri) bukan riwayat lain dari riwayat-riwayat hadits Umar sebelumnya sebagaimana hal itu bisa dipahami secara salah dari apa yang dilakukan oleh an-Nawawi.
(Dhaif sekali),: Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (1/92) dari jalan Muhammad bin Abdurrahman al-Bailamani, dari bapaknya, dari Ibnu Umar dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad yang sangat parah sekali, Muhammad bin Abdurrahman adalah rawi matruk yang tertuduh, bapaknya adalah rawi dhaif dan yang umum riwayatnya ini adalah mursalmursal, kemudian keduanya mengalami kegocangan memiliki kesimpang siuran (goncang) padanya, maka ia diriwayatkan oleh at-Thabraniath-Thabrani di dalam ad-Du'a' (no. 387); ad-Daruquthni (1/92:) dari jalan yang sama dari musnadmusnad Utsman bin Affan. Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh ad-Daruquthni, an-Nawawi dan al-Asqalani meskipun ia lebih dhaif dari sekedar dhaif.

Kami meriwayatkan dalam Sunan ad-Daruquthni dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ اْلوُضُوْئَيْنِ.

"Barangsiapa berwudhu kemudian mengucapkan, 'Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan RasulNya', sebelum berbicara niscaya diampuni baginya (dosa-dosanya) di antara kedua wudhu."

Takhrij Hadits: Dhaif sekali: Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni 1/92 dari jalan Muhammad bin Abdurrahman al-Bailamani, dari bapaknya, dari Ibnu Umar dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad yang sangat parah sekali, Muhammad bin Abdurrahman adalah rawi matruk yang tertuduh, bapaknya adalah rawi dhaif dan yang umum riwayatnya ini adalah mursal, kemudian keduanya memiliki kesimpang siuran (goncang) padanya, maka ia diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam ad-Du'a' no. 387; ad-Daruquthni 1/92: dari jalan yang sama dari musnad Utsman bin Affan. Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh ad-Daruquthni, an-Nawawi dan al-Asqalani meskipun ia lebih dhaif dari sekedar dhaif.

Kami meriwayatkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Ibnu Majah dan kitab Ibn as-Sunni dari riwayat Anas Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,


مَنْ تَوَضَّأ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ قَالَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبدُهُ وَرَسُوْلُهُ، فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ دَخَلَ.

"Barangsiapa berwudhu lalu dia membaguskan wudhunya kemudian dia mengucapkan sebanyak tiga kali, 'Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan RasulNya,' niscaya dibukakan untuknya delapan pintu surga dia masuk dari pintu mana saja yang dia suka."

Takhrij Hadits: Dhaif sekali: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 22; Ahmad 3/265; Ibnu Majah Kitab Thaharah, Bab Ma Yuqalu Ba'da al-wudhui, 1/159 no. 469; ath-Thabrani dalam ad-Du'a' no. 385 dan 386; Ibn as-Sunni no. 33: dari beberapa jalan dari Amr bin Abdullah bin Wahab an-Nakha'i, dari Zaid al-Ammi, dari Anas dengan hadits tersebut. Ini adalah sanad yang sangat dhaif, di dalamnya terdapat tiga 'illat.
Pertama: Zaid al-Ammi adalah rawi dhaif.
Kedua: riwayatnya dari Anas adalah mursal sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Hatim.
Ketiga: Kegoncangan padanya sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Asqalani dalam Amal al-Adzkar no. 2/22-Futuhat di mana dia berkata, "Ia diriwayatkan oleh anaknya darinya maka anaknya menyelisihinya pada sanad dan tidak terdapat padanya pengulangan." Sanad seperti ini lebih dekat kepada kedhaifan yang parah, di mana syahid pun tidak bisa membantunya. Oleh karena itu ia didhaifkan oleh an-Nawawi, al-Bushiri, al-Asqalani dan al-Albani, sebagai gantinya adalah hadits Umar yang telah hadir di no. 75.

Kami meriwayatkan pengulangan syahadat la ilaha illallah tiga kali di kitab Ibn as-Sunni dari riwayat Utsman bin Affan dengan sanad dhaif.

Takhrij Hadits: Maudhu': Diriwayatkan oleh Ibn as-Sunni no. 29: Abdullah bin Muhammad bin Ja'far menyampaikan kepada kami, Sa'id bin Muhammad al-Bairuti menyampaikan kepada kami, Sulaiman bin Abdurrahman menyampaikan kepada kami, Abdurrahman bin Sawar menyampaikan kepada kami, Amr bin Ma'mun bin Mihran menyampaikan kepada kami, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Usman, maka dia menyebutkannya dalam kata-kata tersusun.
Al-Asqalani berkata dalam Amal al-Adzkar (2/22-Futuhat), "Aku tidak mengetahui rawi untuknya dari Amr." Dia juga berkata, "Syaikh Ibn as-Sunni pada hadits ini adalah Abdullah bin Muhammad bin Ja'far al-Qazwini, hakim Mesir, di akhir umurnya dia tertuduh memalsukan hadits." Hadits ini tidak sekedar dhaif bahkan sangat dhaif atau maudhu'.

Syaikh Nashr al-Maqdisi berkata, "Doa-doa itu tadi disertai dengan,
' اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ' dengan ditambah, وَسَلَّمَ . (Membaca shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dianjurkan di setiap waktu. Adapun pembatasannya setelah dzikir wudhu maka ia adalah bid'ah yang tidak berdasar, tidak dalam kitabullah, tidak dalam Sunnah Rasul dan tidak pula dilakukan oleh as-Salaf ash-Shalih. Berpeganglah dengan apa yang shahih dari Nabimu dan campakkanlah selainnya. Jangan menjadi orang yang ikut-ikutan (taklid) secara buta, pent.)

Kawan-kawan kami berkata, "Mengucapkan dzikir ini dengan menghadap kiblat (Al-Asqalani dalam Amal al –Adzkar 2/27-Futuhat berkata, "Aku tidak melihat dalam perkara menghadap kiblat dalil yang jelas yang khusus dengan wudhu." Aku berkata, "Maka hukumnya sama dengan dzikir-dzikir lainnya, jika tidak menghadap kiblat maka tidak mengapa. Jika menghadap maka ia lebih baik dan lebih utama.", pent.) dan itu dilakukan setelah selesai berwudhu."

Tidak ada doa apa pun dari Nabi pada waktu membasuh anggota wudhu.
Para fuqaha berkata, "Dianjurkan padanya doa-doa yang datang dari Salaf ((Yang dimaksud dengan Salaf di sini adalah sebagian ulama atau ahli zuhud atau ahli tasawuf yang mendahului Imam an-Nawawi, karena anjuran ini tidak bersumber dari as-Salaf ash-Shalih; para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in, justru mereka membencinya dan mencela pelakunya. Asal usul doa ini adalah kumpulan riwayat-riwayat palsu (maudhu') di mana para ulama menyatakannya dusta dan mencela pemiliknya. Semoga Allah memberi pertolongan, pent.), mereka menambah dan menguranginya. Kesimpulan dari apa yang mereka katakan adalah bahwa seseorang mengucapkan setelah basmalah, 'Segala puji bagi Allah yang menjadikan air itu suci dan menyucikan.' Pada waktu berkumur mengucapkan, 'Ya Allah berilah aku minum satu gelas dari telaga NabiMu di mana aku tidak merasa haus setelah itu selama-lamanya.' Pada waktu istinsyaq dia mengucapkan, 'Ya Allah janganlah Engkau mengharamkanku dari aroma nikmat dan SurgaMu.' Pada saat membasuh wajah dia mengucapkan, 'Ya Allah jadikanlah wajahku putih pada hari di mana di situ terdapat wajah putih dan wajah hitam.' Pada saat membasuh kedua tangan, 'Ya Allah berikanlah buku catatan amalku dengan tangan kananku dan janganlah Engkau berikan buku catatan amalku kepadaku dengan tangan kiriku.' Pada saat membasuh kepala dia mengucapkan, 'Ya Allah haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka. Naungilah aku di bawah naunganMu pada hari di mana tiada naungan kecuali naunganMu.' Pada saat mengusap kedua telinga, 'Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mendengarkan ucapan lalu mengikuti yang terbaik.' Pada saat membasuh kedua kaki dia mengucapkan, 'Ya Allah teguhkanlah kedua telapak kakiku di atas shirath jembatan menuju surga'." Wallahu a'lam.

An-Nasa`i dan rekannya Ibn as-Sunni meriwayatkan dalam kitab mereka al-Yaum wal Lailah dengan sanad dari Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,


أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ بِوَضُوْءٍ، فَتَوَضَّأَ، فَسَمِعْتُهُ يَدْعُوْ وَيَقُوْلُ: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ، وَوَسِّعْ لِي فِي دَارِيْ، وَبَارِكْ لِيْ فِي رِزْقِيْ. فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ! سَمِعْتُكَ تَدْعُوْ بِكَذَا وَكَذَا، وَهَلْ تَرَكْنَ مِنْ شَيْءٍ؟

"Aku membawa air wudhu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam, lalu beliau berwudhu maka aku mendengar beliau berdoa dengan mengucapkan, 'Ya Allah ampunilah dosaku, lapangkanlah tempat tinggalku dan berkahilah rizkiku.' Aku berkata, 'Wahai Nabi Allah, aku mendengarmu berdoa begini begini.' Nabi menjawab, 'Apakah ada sesuatu yang tertinggal?"

Takhrij Hafdits: Dhaif: Diriwayatkan Ahmad 4/399, an-Nasa`i dalam [1]Amal al-Yaumi Wa al-Lailah no. 80; Abu Ya'la no. 7273; ath-Thabrani dalam [ad-Du'a' no. 656; Ibn as-Sunni no. 28: dari beberapa jalan, dari Mu'tamin bin Sulaiman, Abbad bin Abbad bin Alqamah menyampaikan kepada kami dari Abu Majlaz dari Abu Musa dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad dengan rawi-rawi tsiqah hanya saja ia memiliki dua illat:
Pertama inqitha. Al-Asqalani dalam Amal al-Adzkar 2/33-Futuhat berkata, "Perkara mendengarnya Abu Mijlaz kepada Abu Musa perlu dikaji karena dia terbiasa meriwayatkan secara mursal dari rawi di mana dia tidak bertemu dengannya.
Kedua: Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 3033 dan 29246 dengan sanad shahih dari Abu Musa secara mauquf. Jalan ini lebih rajih daripada yang sebelumnya. Dalam Tamam al-Minnah hal. 96, al-Albani berkata, "Benar doa yang terdapat di dalam hadits ini memiliki syahid dari hadits Abu Hurairah di at-Tirmidzi no. 3500 dan lainnya, jadi berdoa dengannya secara mutlak tanpa terikat dengan shalat atau wudhu adalah baik." Adapun doa seperti yang ada di sini maka haditsnya didhaifkan oleh al-Asqalani, as-Suyuthi dan al-Albani.
Ibn as-Sunni meletakkan bab untuk hadits ini dengan mengatakan, "Bab apa yang diucapkan di tengah-tengah wudhu". Adapun an-Nasa`i maka dia memasukkannya ke dalam bab, "Bab apa yang diucapkan selesai wudhu." Maka keduanya memungkinkan. (Aku berkata, "Dalam riwayat ath-Thabrani dari beberapa jalan tercantum, 'Lalu Nabi berwudhu kemudian shalat kemudian mengucapkan... dan seterusnya." Oleh karena itu ath-Thabrani meletakkannya dalam bab doa setelah shalat. Al-Asqalani dalam Amal al-Adzkar 2/23-Futuhat berkata, "Ini menolak bab yang diletakkan oleh Ibn as-Sunni karena ia secara jelas dinyatakan sesudah shalat. Ia juga menolak kemungkinan antara wudhu dan shalat." Yang jelas hadits ini dhaif, tidak layak dipegang untuk diamalkan tidak ba'da wudhu dan tidak pula ba'da shalat, pent.)

Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Oleh: Abu Nabiel)

Sumber : http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatdoa&id=170

DOA YANG DIUCAPKAN PADA WAKTU BERWUDHU

Di awal wudhu dianjurkan mengucapkan, "Bismillahir Rahmanir Rahim." Jika mengucapkan, "bismillah" saja maka itu sudah cukup. (Pada dasarnya cukup mengucapkan bismillah saja di awal wudhu. Inilah yang ditunjukkan dalil-dalil berikut di mana tak satu pun darinya menyebut ar-Rahman ar-Rahim di tempat ini. Peganglah sunnah Nabimu yang shahih, jangan lancang di hadapanNya dengan menambah dan mengurangi. Ingatlah firman Tuhanmu, وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا" Dan tidaklah Tuhanmu lupa." (Maryam: 64). Keselamatan seluruh keselamatan ada padanya, pent.)

Kawan-kawan kami berkata, "Jika dia meninggalkan basmalah di awal wudhu maka dia mengucapkan di tengah-tengahnya, jika dia meninggalkannya sampai selesai wudhu maka waktunya telah berlalu, wudhunya shahih, baik dia meninggalkannya karena sengaja atau karena lupa. Ini adalah madzhab kami dan madzhab jumhur ulama." (Yang menyelisihi pendapat ini adalah az-Zhahiriyah, Ishaq dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, di mana mereka mewajibkan basmalah dan pendapat inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut. Pendapat ini dinyatakan rajih oleh asy-Syaukani, Shiddiq Khan dan al-Albani. Dari sini, maka barangsiapa meninggalkannya secara sengaja maka wudhunya tidak sah. Barangsiapa lupa maka dia mengucapkannya pada waktu dia ingat, pent.)

Dalam hal basmalah terdapat hadits-hadits yang dhaif. Terbukti secara shahih bahwa Ahmad bin Hanbal berkata, "Aku tidak mengetahui hadits yang shahih dalam perkara basmalah dalam wudhu." (Al-Asqalani berkata seperti yang dinukil oleh Ibnu IAllan darinya dialam al-Futuhat (2/6), "Penafian ilmu tidak mengharuskan terbuktinya ketiadaanTidak mengetahui tidak berarti sesuatu itu tidak ada. Kalaupun demikian maka penafian ketidakadaan tidak mengharuskan terbuktinya kelemahan, karena ada kemungkinan yang dimaksud dengan ketiadaan adalah ketiadaan yang shahihshahih, jadi masih ada yang hasanhasan, kalaupun demikian maka penafian ketiadaan dari setiap pribadi tidak mengharuskan penafian dari keseluruhan, pent.")

Di antara hadits-hadits tersebut adalah hadits Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,


لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ.

"Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya (baca: yang tidak membaca ,'Bismillah')."

Takhrij Hadits: (ShahihShahih): Penulis menyebutkannya dari hadits beberapa orang sahabat.
 1. Hadits Abu Hurairah diriwayatkan oleh Ahmad (2/418;) Ibnu Majah, Kitab ath-Thaharah, Bab at-Tasmiyah Fi al-Wudhu', 1/140, no. 399; Abu Dawud, Kitab ath-Thaharah, Bab at-Tasmiyah Ala al-Wudhu', 1/73, no. 101; ath-Thabrani dalam ad-Du'a' no. 379; ad-Daruquthni 1/79; al-Hakim 1/146; al-Baihaqi 1/43: dari jalan Muhammad bin Musa al-Makhzumi, dari Ya'qub bin Salamah, dari bapaknya, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.


Ibnu Majah ( 1 - Thaharah, 41 - Basmalah pada waktu wudhu, 1/140/399), Abu Dawud (1 - Thaharah, 48 - Basmalah pada wudhu, 1/73/101), at-Thabrani di ad-Dua' (379), ad-Daruquthni (1/79) dari Ya'qub bin Salamah dari bapaknya dari Abu Hurairah... dengannya. Al-Hakim berkata, "ShahihShahih." Tetapi adz-Dzahabi dan al-Asqalani tidak menyetujuinya, keduanya mendhaifkannya karena Ya'qub dan bapaknya adalah rawi majhul. Begitu pula al-Bukhari berkata dalam at-Tarikh (4/76), "Salamah tidak diketahui mendengar dari Abu Hurairah dan Ya'qub tidak diketahui mendengar dari bapaknya." Akan tetapi hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (1/71) dan al-Baihaqi 1/44 dari jalan Mahmud bin Muhammad azh-Zhafari, Ayyub bin an-Najjar menyampaikan kepada kami, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut. Ini adalah sanad dhaif dengan dua illat'illat: Mahmud tidak kuat, Ayyub tidak mendengar hadits ini dari Yahya sebagaimana hal itu tidak oleh seorang imam hadits sajabanyak dinyatakan oleh ulama hadits.

 2. Hadits SaidSa'id bin Zaid: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 15), Ahmad (4/70, 6/382); Ibnu Majah (ibid, 398); at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharaah, Bab at-Tasmiyah Inda al-Wudhu', 1/37, no. 25 dan 26; ath-Thabrani dalam ad-Du'a' no. 373-377; ad-Daruquthni 1/72; al-Hakim 4/60; al-Baihaqi 1/43: dari jalan Abu Tsifat al-Murri, dari Rabah bin Abdurrahman dari neneknya dari bapak neneknya dengan hadits tersebut. Al-Bukhari berkata, "Ini adalah hadits terbaik dalam masalah ini." Aku berkata, "Ia dhaif atau layak sebagai syahid karena Abu Tsifal dan Rabah adalah rawi yang diterima dengan mutaba'ah."at-Tirmidzi (1 - Thaharah, 20 - Basmalah pada saat wudhu, 1/37/25-26),at-Thabrani

 3. Hadits Abu SaidSa'id al-Khudri diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 14); Ahmad (3/41); Abd bin Humaid ( no. 910 –Mun-takhab;) ad-Darimi (1/116); Ibnu Majah (ibid, 397); at-Thabraniath-Thabrani didalam ad-Du'a' no. (380); Ibn as-Sunni (no. 26); Ibnu Adi (3/1034); al-Hakim (1/147); al-Baihaqi (1/43:) dari beberapa jalan, dari Katsir bin Zaid, dari Rabih bin Abdurrahman bin Abu Said Sa'id, dari kakeknya dengan hadits tersebut.

Dikatakan di dalam az-Zawa`id "HasanHasan." Aku berkata, "HasanHasan dengan syahidsyahid-syahidsyahidnya karena pada Katsir dan Raubaih terdapat kelemahan." Ahmad berkata, "Ini adalah hadits bab ini yang terbaik dalam masalah ini." Ishaq berkata, "Ini adalah yang tershahihshahih dalam babmasalah ini."

 4. Hadits Aisyah, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 16), al-Bazzar (no. 159 – Mukhtashar az-Zawa`id) Abu Ya'la, (no. 4687), at-Thabraniath-Thabrani di dalam ad-Du'a' ( no. 383-384), ad-Daruquthni (1/72) dari jalan Haritsah bin Abur Rijal, dari Amrah, dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ... dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Haritsah adalah rawi yang sangat lemah, oleh karenanya Ahmad berkata, "Ini adalah hadits terdahulu paling dhaif dalam bab masalah ini."

5. Hadits Anas, diriwayatkan oleh Abdul Malik bin Habib (2/17-Futuhat), Abdul Malik ini adalah rawi dhaif dan haditsnya ringkihlemah.

 6. Hadits SahalSahl bin Sa'ad, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (ibid, no. 400); at-Thabraniath-Thabrani di al-Kabirdalam al-Mu'jam al-Kabir (6/121/ no. 5699) dan ad-Du'a' (no. 382); al-Hakim (1/269); al-Baihaqi (2/379:) dari jalan Ubay dan Abdul Muhaimin dua anak Abbas bin SahalSahl bin Sa'ad, dari bapak keduanya, dari kakek keduanya dengan hadits tersebut secara marfumarfu'. Aku berkata, "Ubay dan Abdul Muhaimin adalah dua rawi yang dhaif, oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh adz-Dzahabi dan al-Bushiri."

 Inilah hadits-hadits dari enam orang sahabat, tak satu pun yang selamat dari kelemahan hanya saja padanya tidak ter-dapat rawi yang tertuduh berdusta dan matruk maka hadits seperti ini bisa menjadi kuat dengan mutaba'ah dan syahidsyahidsyawahidnya, jadi hadits di atas adalah shahihshahih tanpa kebimbangan padanya. Para imam berikut cenderung menguatkannya, mereka adalah: Ibnu Abi Syaibah, al-Mundziri, Ibnu Shalah, Ibnul Qayyim, Ibnu Jamaah, Ibnu Katsir, al-Bushiri, al-Hai-tsami, al-Iraqi, al-Asqalani, Ahmad Syakir dan al-Albani.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dan kami meriwayatkannya dari riwa-yat Sa'id bin Zaid, Abu Sa'id, Aisyah, Anas bin Malik, Sahl bin Sa'ad. Semuanya kami riwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi dan lainnya dan semuanya dinyatakan dhaif oleh al-Baihaqi dan lainnya.

Syaikh Abul Fath Nashr al-Maqdisi az-Zahid berkata, "Disunnahkan bagi orang yang berwudhu untuk mengucapkan di awal wudhunya setelah basmalah,


أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

"Aku bersaksi bahwa tidak tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan RasulNya."

Apa yang dia katakan ini tidak mengapa, hanya saja ia tidak memiliki dasar dari as-sunnah dan kami tidak mengetahui seorang pun dari kawan-kawan kami dan selain mereka yang mengatakan demikian." (Jika ia tidak memiliki dasar dari as-Sunnah maka bagaimana bisa dikatakan tidak mengapa? Yang benar ia memiliki dasar sunnah hanya saja ia sangat lemah, tidak dianggap dan tidak disyariatkan. Lihat perinciannya dalam al-Futuhat ar-Rabbaniyah 2/16, pent.) Wallahu a'lam. Bersambung...

Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Oleh: Abu Nabiel)

sumber : http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatdoa&id=169